REGULASI Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation-free Regulation/EUDR) yang disahkan pada 29 Juni 2023, terus menjadi polemik.
EUDR bertujuan mengurangi peran konsumen UE terhadap penggundulan hutan dengan cara melarang masuk impor 7 komoditi (kayu, kopi, kakao, minyak sawit, ternak, kedele dan karet) yang ditanam di kawasan terdeforestasi.
Pengusaha dan pedagang yang ingin menempatkan produk tersebut di pasar UE atau mengekspor dari UE harus menerapkan sistem pemeriksaan legalitas dengan melakukan penilaian risiko dan memperoleh koordinat lokasi geografis (lintang dan bujur) dari bidang tanah tempat barang yang bersangkutan berada, diproduksi atau diperoleh, serta tanggal atau rentang waktu produksi.
Untuk mengeluarkan barang, pengusaha harus menyerahkan surat pernyataan pemeriksaan legalitas bersama dengan pemberitahuan pabean, dan sistem informasi terpusat yang dikendalikan oleh lembaga negara akan dibuat untuk memasukkan dan menyimpan informasi tersebut.
EUDR tidak berlaku untuk barang-barang yang diproduksi sebelum penerapan peraturan ini (kecuali untuk produk kayu yang tunduk pada persyaratan EUDR) atau untuk barang-barang yang seluruhnya terbuat dari bahan yang telah mencapai akhir siklus hidup produknya dan jika tidak, maka akan dibuang sebagai limbah.
Nantinya komoditas tersebut harus melewati uji tuntas (due diligence) untuk memastikan tidak berasal dari lahan yang mengalami degradasi hutan atau deforestasi.
Persentase produk yang harus melewati due dilligence bergantung kepada risk assessment negara asal komoditas itu, bisa low risk, medium risk atau high risk.
Negara-negara yang menerapkan kebijakan deforestation free menggolongkan komoditas menjadi tiga kategori berdasarkan risiko deforestasi, yakni:
Pertama, Low Risk (Risiko Rendah): Komoditas dalam kategori ini dianggap memiliki risiko deforestasi rendah. Negara-negara importir biasanya memberlakukan prosedur yang lebih ringan untuk komoditas dalam kategori ini.
Kedua, Standard Risk (Risiko Standar): Komoditas dalam kategori ini dianggap memiliki risiko deforestasi sedang. Negara-negara importir menerapkan prosedur yang lebih ketat untuk komoditas dalam kategori ini.
Ketiga, High Risk (Risiko Tinggi): Komoditas dalam kategori ini dianggap memiliki risiko deforestasi tinggi. Negara-negara importir menerapkan prosedur wajib yang lebih ketat (stricter due diligence) untuk komoditas dalam kategori ini.
Penggolongan komoditas ini bertujuan mengidentifikasi dan mengatur perlakuan yang sesuai terhadap komoditas yang berisiko deforestasi.
Uni Eropa bermaksud menunda pemberlakuan aturan ketat impor komoditi dari kawasan yang rawan deforestasi, atau dikenal dengan UU Bebas Deforestasi (EUDR), setelah sejumlah negara Asia, Afrika dan Amerika Latin mengajukan protes karena aturan tersebut memberatkan, tidak adil, dan menakuti investor.
UE akan menunda klasifikasi negara ke dalam tiga kategori — berisiko rendah, standar dan tinggi — yang sedianya akan diterapkan pada Desember 2024.
Sebaliknya, UE akan menetapkan seluruh negara masuk dalam risiko standar guna memberi lebih banyak waktu setiap negara untuk beradaptasi dengan EUDR.
Dalam pelaksanaannya, UE telah meluncurkan peta hutan dunia (Global Forest Map-GFM) 2020 sebagai acuan pada platform European Union Forest Observatory (EUFO) pada Desember 2023.
Versi final peta EUFO tersebut akan dirilis pada Desember 2024. Peta final EUFO dapat menggambarkan tiga kategori berdasarkan risiko deforestasi.
Apakah kebijakan EUDR musibah atau berkah bagi Indonesia? Penulis sebagai pemerhati kehutanan dan lingkungan mencoba mengulasnya.
Meski EUDR tidak berlaku surut, namun secara ekonomis jelas merugikan bagi para petani kecil yang jumlahnya jutaan orang di negara-negara produsen 7 komoditas yang masuk dalam golongan EUDR.
Para petani akan dibebani biaya tambahan untuk menentukan geolokasi dari lahan yang dimiliki/digarapnya. Jadi wajar apabila negara-negara yang mempunyai hutan, khususnya hutan tropis di dunia menolak pemberlakuan EUDR.
UU ini dipandang belum mempertimbangkan kemampuan dan kondisi lokal, produk legislasi nasional, mekanisme sertifikasi, upaya-upaya dalam mencegah deforestasi, dan komitmen multilateral dari negara-negara produsen komoditas, termasuk prinsip tanggung jawab bersama dengan bobot yang berbeda (common but differentiated responsibilities).
Ada 17 negara yang menolak, yakni Argentina, Brasil, Bolivia, Ekuador, Ghana, Guatemala, Honduras, Indonesia, Kolombia, Malaysia, Meksiko, Nigeria, Pantai Gading, Paraguay, Peru, Thailand, dan Republik Dominika.
Indonesia yang mengklaim sebagai negara pemilik hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo, sangat wajar apabila menolak atau setidaknya keberatan pemberlakukan EUDR.
Tujuh komoditas yang masuk dalam golongan EUDR selama ini merupakan ekspor komoditas Indonesia.
Sebut saja kelapa sawit dan produk turunannya adalah komoditas andalan Indonesia. Neraca perdagangan RI mengalami surplus mencapai rekor tertinggi senilai 35,34 miliar dollar AS sejak 2004-2021.
Surplus neraca perdagangan tahun 2021 disumbangkan oleh lima komoditas utama, yakni batu bara, CPO (minyak sawit) dan turunannya, besi dan baja, otomatif dan suku cadang (spare part) dan yang terakhir barang elektronik.
Dari lima komoditas unggulan ekspor tersebut, minyak sawit dan turunannya menjadi andalan pemasukkan devisa negara bagi pemerintah saat ini.
Kontribusi pasar minyak kelapa sawit berkisar 35-40 persen dari total pasar minyak nabati dunia. Tahun 2021, nilai ekspor minyak kelapa sawit diperkirakan mencapai lebih dari 20 miliar dollar AS meningkat 155 persen dibandingkan tahun lalu.
Bagi Indonesia, minyak sawit adalah penyumbang devisa ekspor nonmigas terbesar senilai 27,3 miliar dollar AS selama periode Januari-Oktober 2021.
Ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa terus meningkat, meskipun ada upaya beberapa negara produsen minyak nabati untuk mengeluarkan minyak kelapa sawit dari produk mereka.
Minyak sawit (CPO) produk Indonesia merupakan komoditas andalan yang lagi naik daun.
Kebijakan EUDR berpotensi besar menimbulkan efek negatif terhadap necara perdagangan Indonesia.
Pakar Hukum Bisnis dan Perdagangan Internasional dan Guru Besar dari Universitas Tarumanegara Jakarta, Prof. Dr. Ariawan Gunadi mengatakan, sebagai negara pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia, implementasi EUDR dapat menghambat perdagangan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya, bahkan berpotensi memicu kerugian sebesar 7 miliar dollar AS atau Rp 107 triliun terhadap neraca perdagangan internasional Indonesia.
Ini membebani produsen kelapa sawit dan merugikan petani kecil dari rantai pasokan.
Padahal, industri sawit Indonesia mampu menyerap tenaga kerja 16,2 juta orang. Sementara petani kelapa sawit yang terlibat dan menguasai kebun sawit seluas 5–25 hektare jumlahnya jutaan orang dengan luas total mencapai 6,03 juta hektare dari 14,6 juta hektare kebun sawit di Indonesia.
Belum lagi dengan industri perkayuan Indonesia dan turunannya yang sudah mulai bangkit dengan rezim pengelolaan hutan lestari (PHL).
Meski, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjamin adanya kayu bersertifikat SVLK (sistem verifikasi legalitas kayu) yang telah mendapat pengakuan dari Uni Eropa dan disetarakan sebagai lisensi FLEGT (Forest Law Governance and Trade), namun produk turunan industri perkayuan seperti pulp dan kertas masih belum aman dengan adanya kebijakan EUDR.
Indonesia merupakan produsen terbesar kesembilan, sementara industri kertas menempati peringkat keenam di dunia.
Di wilayah Asia, Indonesia merupakan produsen peringkat ketiga untuk industri pulp dan dan keempat untuk industri kertas.
Industri pulp dan kertas dalam negeri diperkirakan akan terus tumbuh pada tahun mendatang. Apalagi, peluang pasar masih terbuka dan kapasitas produksi pulp dan kertas meningkat karena ada perluasan.
Sebagaimana negara Amerika Serikat, kebijakan EUDR akan berdampak negatif produsen pulp and paper yang sedang tumbuh dengan adanya persyaratan traceability dan geolocation yang sulit dipenuhi.
Demikian juga dengan komoditas lainnya seperti karet, kopi, kakao secara ekonomi juga akan mengganggu para petani kecil dalam memasarkan produknya keluar negeri.
Di sisi lain, EUDR juga membawa berkah secara langsung maupun tidak langsung. EUDR dapat menekan, mengendalikan dan menurunkan laju deforestasi dan degradasi lahan.
Di tengah krisis iklim yang melanda dunia secara global, menekan, mengendalikan dan menurunkan laju deforestasi dan degradasi lahan merupakan salah satu kegiatan mitigasi aksi penurunan gas rumah kaca (GRK) yang sangat nyata.
Aksi penurunan emisi GRK di sektor kehutanan adalah penurunan deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan lestari, peningkatan cadangan karbon, peningkatan peranan konservasi dan pengelolaan lahan gambut.
Deforestasi khususnya alih fungsi lahan hutan untuk kepentingan non kehutanan merupakan penyumbang peningkatan emisi karbon di uidara.
Menurut data yang ada, sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48 persen berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan. Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21 persen, kebakaran sebesar 12 persen, limbah pabrik sebesar 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.
Di balik musibah perubahan dan krisis iklim dunia yang harus dipulihkan, ditekan dan diturunkan kenaikan emisi GRK secara global; Indonesia sebagi negara kepulauan yang terletak di garis khatulistiwa yang mempunyai hutan tropika basah ketiga di dunia nampaknya diuntungkan dan memperoleh berkah ekonomi dari musibah krisis iklim ini melalui konsep menjual karbon yang jumlahnya melimpah.
Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan terdapat potensi besar dalam perdagangan karbon yang nilainya berkisar antara 82 miliar dollar AS sampai 100 miliar dollar AS.
Angka ini didapat karena Indonesia 75-80 persen carbon credit dunia dari hutan tropis, mangrove, gambut, rumput laut hingga terumbu karang.
Anggota Komisi Kehutanan DPR, Kamrussamad, memperkirakan potensi ekonomi bursa karbon Indonesia bersumber dari hutan tropis seluas 120,3 juta hektare dapat menyerap emisi karbon 25,18 miliar ton; mangrove seluas 3,31 juta hektare dan menyerap 33 miliar ton serta hutan gambut seluas 7,5 juta hektare yang menyerap 55 miliar ton.
Jika harga karbon Indonesia 5 dollar AS per ton saja, nilai ekonomi perdagangan karbon lewat bursa karbon sangat besar. Belum lagi, kalau pajak karbon akan diberlakukan tahun 2025 nanti.
Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak yang dihasilkan dapat mencapai Rp 26 triliun hingga Rp 53 triliun atau 0,2 persen hingga 0,3 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dengan asumsi tarif pajak sekitar 5 - 10 dollar AS per ton CO2 yang mencakup 60 persen emisi energi.
Pajak karbon yang berlaku adalah barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu, maka barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon juga harus diarahkan kepada aktivitas sektor penyumbang emisi karbon itu, yakni kehutanan (alih fungsi hutan dan kebakaran hutan), perhubungan (transportasi), perindustrian (limbah pabrik dan industri) dan pertanian.
Aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dari sektor kehutanan adalah hilangnya vegetasi kayu akibat penebangan hutan, baik secara legal (melalui perizinan resmi) maupun ilegal (melalui perambahan hutan dan pencurian kayu) serta kebakaran hutan.
Oleh karena itu, obyek pajak karbon untuk kehutanan juga harus disasar dari aktivitas ini dan tidak hanya terbatas barang yang mengandung karbon seperti pulp dan kertas saja.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini KLHK boleh saja melakukan upaya diplomasi dengan UE untuk mencari kompromi tentang kebijakan EUDR. Namun, cepat atau lambat kebijakan EUDR tetap akan berlaku.
Dengan telah disetujui dan ditetapkannya aturan uji tuntas produk hasil hutan bebas deforestasi dan degradasi lahan oleh Parlemen Eropa yang umum disebut dengan European Union Deforestation free Regulation (EUDR), pemerintah Indonesia juga harus mengkaji dan meninjau ulang pengertian deforestasi dalam EUDR.
EUDR mendefinisikan deforestasi berdasarkan komoditas pertanian, perkebunan dan peternakan yang diproduksi dan dikeluarkan berasal dan dari kawasan hutan tidak terkecuali apakah hutan produksi apalagi hutan lindung dan hutan konservasi.
Ruang tumbuh dalam kawasan hutan yang telah digunakan oleh komoditas pertanian, perkebunan dan peternakan; kawasan hutan yang dimaksud tersebut telah mengalami deforestasi.
Regulasi EUDR mensyaratkan verifikasi atau uji tuntas produk yang dijual di Eropa tidak berasal dari lahan terdeforestasi, sesuai ketentuan hak asasi manusia, dan menghormati masyarakat adat.
Komoditas itu mencakup ternak, kakao, kopi, minyak sawit, kedelai dan kayu, termasuk produk yang mengandung atau menggunakan komoditas, seperti kulit, cokelat, dan furniture.
Parlemen Eropa juga ingin memasukkan daging babi, domba, kambing, dan unggas, jagung, karet, arang dan kertas.
EUDRR tampaknya tidak menghendaki konsep hutan tanaman industri (HTI) untuk kayu pertukangan dan pulp, agroforestri, silvopasturi, dan tanaman karet sebagai tanaman kehutanan.
Dalam hutan konservasi dan hutan lindung sebagai kawasan lindung, menurut UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, harus dibebaskan dari praktik-praktik penebangan kayu dan budi daya tanaman pertanian, perkebunan, dan peternakan tanpa kecuali meski atas nama agroforestri, silvopasturi, perhutanan sosial di hutan konservasi dan hutan lindung dalam skema apapun.
Di kawasan hutan produksi, budidaya tanaman hutan untuk kayu pertukangan dan pulp (bubur kertas) masih dapat diperdebatkan apakah masuk dalam wilayah deforestasi atau tidak karena sepanjang praktik silvikultur kehutanan dilaksanakan seperti penjarangan, pemangkasan maka kegiatan tersebut masuk dalam wilayah budidaya tanaman kehutanan serta bisnis utamanya adalah kayu.
Sementara budi daya komoditas sawit dan karet memang bukan masuk dalam wilayah budi daya tanaman kehutanan karena tidak mengenal adanya penjarangan dan pemangkasan serta core bisnis adalah TBS sawit dan getah.
Sebagai negara yang mempunyai kawasan hutan yang cukup luas (120,3 juta hektare) dengan posisi sebagai pemasok (produsen) komoditas pertanian, perkebunan dan peternakan yang cukup besar di kawasan Uni Eropa, Indonesia tidak punya waktu dan alasan memperdebatkan regulasi EUDR, kecuali mematuhi dan menyiasatinya.
Mengoptimalkan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang masih menganggur, yang luasnya masih 10,04 juta hektare akan lebih bijaksana jika dialihfungsikan menjadi kawasan pertanian, perkebunan, dan peternakan yang bebas deforestasi melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan.
Secara regulasi dan status, kawasannya dianggap sah dan legal tidak termasuk dalam katagori deforestasi yang dimaksud oleh regulasi EUDR.
Bagi kegiatan budi daya pertanian, perkebunan dan peternakan yang sudah telanjur masuk dalam kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi biasa (HPB), akan lebih elok apabila diturunkan statusnya menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi (HPT) melalui mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan dalam satu kawasan fungsi hutan produksi.
Toh, luas perkebunan sawit yang telanjur ditanam dalam kawasan hutan hanya sekitar 1,2-1,7 juta hektare. Pada gilirannya nanti juga dapat diproses melalui pelepasan kawasan hutan agar secepatnya mendapat kepastian hukum.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya