APA guna transisi energi jika dibangun di atas reruntuhan hidup masyarakat lokal? Apa makna pembangunan berkelanjutan jika keadilan dikorbankan?
Di ujung tenggara Sulawesi, pulau kecil bernama Kabaena memberi kita jawaban yang getir. Pulau seluas 891 kilometer persegi itu sedang digerus perlahan-lahan.
Bukan oleh bencana alam, melainkan oleh tambang-tambang nikel yang dilegalkan oleh negara, dipayungi undang-undang yang dilanggar, dan dikawal oleh kekuasaan yang tak tersentuh.
Kabaena bukan sekadar titik di peta. Ia adalah rumah bagi ribuan jiwa, tanah yang diwarisi turun-temurun, laut yang memberi makan, dan ruang hidup yang mestinya dilindungi.
Namun kini, wajah pulau itu berubah drastis. Hasil penelusuran kami menunjukkan bahwa 73 persen pulau ini telah dikapling dalam bentuk konsesi tambang.
Tak kurang dari 16 Izin Usaha Pertambangan (IUP) beroperasi dengan melanggar terang-terangan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang aktivitas ekstraktif di pulau kecil.
Namun ketika kekuasaan bicara, hukum menjadi bisu. Padahal, secara hukum negara tak boleh membiarkan tambang mencabik-cabik pulau kecil seperti Kabaena.
Baca juga: Narasi Hijau Palsu: Dampak Nyata Tambang Nikel di Balik Mobil Listrik
Pasal 35 huruf K UU No. 27/2007 juncto UU No. 1/2014 dengan jelas melarang penambangan yang secara teknis, ekologis, atau sosial menimbulkan kerusakan lingkungan atau merugikan masyarakat sekitar.
Namun realitas berkata sebaliknya. Alih-alih menghentikan, negara justru merestui dan memfasilitasi.
Fasilitasi itu tampak nyata. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, menjelma dari pelindung warga menjadi jembatan masuk bagi korporasi.
Izin diterbitkan tanpa kajian lingkungan memadai. Tata ruang diubah semena-mena. Amdal disulap jadi formalitas.
Dan para pemainnya bukan sembarang aktor. Di balik tiga perusahaan yang beroperasi di wilayah Kabupaten Buton Tengah—terdapat nama-nama besar: mantan jenderal polisi, pengusaha dengan koneksi lima menteri, kerabat gubernur, hingga elite partai politik. Jaringan ini bekerja dalam senyap, namun mencengkeram dalam.
Ini bukan semata konflik kepentingan, tapi persekongkolan oligarki bisnis dan politik yang memanfaatkan celah hukum dan nihilnya kontrol publik.
Mereka tidak datang dengan senapan, tetapi dengan dokumen izin. Mereka tidak menjajah secara terbuka, tapi menjarah lewat kebijakan.
Dampak dari semua ini tak hanya tercermin pada kerusakan alam, tapi juga pada penderitaan manusia.
Salah satunya Hanasiah (54), warga desa Liwulompona. Ketika ia menolak menjual ladangnya, lahannya tetap dirampas dan ditimbun tanah merah.
Tahun 2010, ia dituduh memotong tali tongkang milik perusahaan dan dipenjara selama tujuh bulan, saat anak bungsunya masih berusia enam bulan.
Kisah Hanasiah adalah potret dari ratusan perempuan di pulau-pulau kecil yang dikriminalisasi karena membela tanah dan laut mereka.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya