JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia masih menempati posisi ketiga tertinggi di dunia sebagai negara dengan jumlah kasus kusta, setelah India dan Brazil.
Meski secara medis pengobatan kusta sudah tersedia, tantangan terbesar kini terletak pada bagaimana sistem kesehatan nasional dapat secara inklusif, adil, dan berkelanjutan menghapus stigma dan ketimpangan yang masih melingkupi penyintas.
Sebagai bagian dari upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 3 (Kehidupan Sehat dan Kesejahteraan), Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi Kusta 2025–2027, yang kini dalam proses revisi dan perpanjangan menjadi 2025–2030.
Menurut Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Ina Agustina Isturini, pemerintah berupaya menurunkan kasus kusta melalui sejumlah intervensi yang mengedepankan keterlibatan masyarakat dan penguatan sistem layanan.
“Yang pertama menggerakkan masyarakat untuk sama-sama melakukan pencegahan, penurunan kasus, dan penguatan pengobatan,” ujar Ina dalam media briefing menuju 22nd International Leprosy Congress, Jumat (4/7/2025).
Baca juga: Cek Kesehatan Gratis Masuk Desa, Periksa 133 Warga di Cipelah
Di sisi layanan, Ina menyebut adanya peningkatan kapasitas sistem melalui pelatihan daring dan pemanfaatan platform Pelantaran Sehat. Pemerintah juga memperluas akses laboratorium kesehatan masyarakat dan mengintegrasikan data kusta ke dalam sistem informasi nasional Satu Sehat, guna meningkatkan keterpaduan data dan respons antar-lini layanan.
Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan, Kementerian Kesehatan menggandeng mitra internasional seperti WHO dan lembaga seperti Habibi Center, serta mulai menerapkan strategi mandatory screening di fasilitas kesehatan di lima wilayah dengan angka kasus tinggi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Brebes, Kabupaten Sampang, dan Kota Jayapura, lima wilayah yang menyumbang sekitar 10 persen dari total kasus nasional.
Selain itu, program kusta juga diintegrasikan dengan layanan pengobatan tuberkulosis (TBC) untuk meningkatkan efisiensi dan jangkauan layanan. Pemerintah mulai memberikan obat pencegahan (profilaksis) serta pemeriksaan kesehatan gratis di daerah-daerah tersebut.
Faktor geografis dan kondisi cuaca yang tidak menentu selama ini masih menjadi kendala dalam deteksi dan pelaporan kasus.
“Komitmen pemerintah daerah yang masih rendah untuk menanggulangi kasus ini menjadi tantangan lainnya,” jelas Ina.
Baca juga: Kemenkes: 53 Juta Siswa SD-SMA Akan Dapat Skrining Kesehatan Gratis
Stigma terhadap penderita kusta masih menjadi hambatan besar dalam upaya deteksi dan pengobatan.
Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan turut mendorong penguatan pendekatan sosial melalui pelibatan komunitas penyintas, kader, serta organisasi pemberdayaan untuk penemuan kasus secara aktif.
“Kami juga melakukan pendampingan rehabilitasi pasien melalui kerja sama dengan sejumlah organisasi seperti Sasakawa Foundation,” tambah Ina.
Melalui kolaborasi dengan Sasakawa Foundation, Indonesia juga akan mengikuti International Leprosy Congress di Bali, 7–9 Juli 2025, yang diharapkan menjadi ruang tukar pengetahuan dan kolaborasi lintas negara.
Fokus kongres tersebut adalah mendorong agar penyandang dan penyintas kusta tidak hanya bebas dari penyakit, tapi juga bebas dari stigma sosial yang menyebabkan ketimpangan.
Dalam konteks SDGs, upaya ini menandai pergeseran penting dari pendekatan medis semata ke arah pembangunan kesehatan yang inklusif dan berbasis hak, sejalan dengan prinsip "no one left behind".
Baca juga: Peduli Kesehatan Masyarakat, Viva Apotek Raih Penghargaan CSR Terbaik 2025
Tantangan kusta bukan hanya soal menyembuhkan, tapi memastikan penyintas tidak tertinggal dari sistem jaminan kesehatan, layanan dasar, dan pengakuan sosial yang layak.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya