Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Spesies Asing Invasif Kuasai 50 Persen dari 54 Taman Nasional di Indonesia

Kompas.com, 19 Mei 2024, 16:47 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Keberadaan spesies asing invasif di Indonesia dapat menjadi ancaman bagi biodiversitas, sosial ekonomi, maupun kesehatan pada tingkat ekosistem, individu, dan genetik.

Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Aisyah Handani, jenis asing invasif (JAI) atau invasive alien species (IAS) adalah spesies hewan, tumbuhan, atau organisme lain sebagai pendatang di suatu wilayah, yang hidup dan berkembang biak di wilayah tersebut.

"Artinya spesies asing invasif di kawasan Indonesia, berarti spesies itu didatangkan dari luar Indonesia. Dibawanya spesies ini akibat aktivitas manusia atau kegiatan, bisa (secara) sengaja atau tidak," ujar Aisyah dalam webinar "Awasi dan Kenali Spesies Invasif Asing" yang digelar Biodiversity Warriors, Jumat (17/5/2024).

Baca juga: Cara KLHK Lestarikan Satwa Langka, Gunakan Teknologi

Jika secara sengaja, kata dia, biasanya disebabkan karena alasan tertentu misalnya untuk estetika. Seperti potensi ikan hias yang dapat mempercantik akuarium. Artinya, spesies itu memiliki potensi positif tertentu. 

Sedangkan secara tidak sengaja artinya spesies tersebut bisa jadi menumpang atau terbawa tanpa disadari. Misalnya melalui transportasi, perdagangan, atau wisata. 

"Tapi tidak semua spesies yang dibawa (dari luar) itu bersifat invasif. Bisa jadi dia cuma datang saja, tapi tidak invasif atau berdampak negatif. Spesies lokal pun ada yang bersifat invasif," ujar dia. 

Spesies invasif di Indonesia

Aisyah menjelaskan, spesies yang disebut "invasif" adalah hewan, tumbuhan, atau mikroorganisme lainnya yang memiliki dampak negatif. 

Spesies invasif, kata dia, dapat menyebabkan kerusakan karena bertahan lama pada habitat yang mereka invasi dengan mengurangi kelimpahan spesies asli, serta mengubah struktur dan proses ekosistem.

Baca juga: Perdagangan Satwa Liar Masih Mengkhawatirkan, 4.000 Spesies Kena Dampak

Tak hanya dampak lingkungan, spesies invasif juga dapat mengakibatkan kerugian ekonomi bagi masyarakat dan industri lokal.

"Karakter atau perilaku invasi itu bisa mengubah ekosistem, berpengaruh terhadap rantai makanan di ekosistem, dan juga bisa berkompetisi dengan spesies lokal. Penyebarannya berdampak negatif tidak hanya secara ekonomi melainkan juga ekonologi," paparnya.

Menurut penelitian, terdapat lebih dari 300 spesies invasif telah menyebar di Indonesia.

Bahkan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per Juli 2021, dari 54 Taman Nasional yang dikelola KLHK, lebih dari 50 persen telah terinvasi jenis tumbuhan invasif dan mempengaruhi populasi satwa endemis dan tumbuhan khas Indonesia.

"Sudah setengahnya (taman nasional) itu telah diinvasi oleh tumbuhan dan jenis-jenis invasif. Tidak hanya taman nasional, ada juga laporan dari teman-teman BKSDA, tanaman invasif ini sudah mendominasi tumbuh di kawasan mereka," ungkap Aisyah. 

Di kawasan konservasi, beberapa sebaran IAS yang dominan, antara lain Kayu afrika (Maesopsis eminii) di TN Gunung Gede Pangrango, dan Kaliandra (Calliandra calothyrsus) di TN Gunung Gede Pangrango dan TN Gunung Halimun Salak. 

Baca juga: BKSDA Bengkulu Gagalkan Pengiriman Ilegal 787 Satwa Liar Burung

Adapun untuk satwa, di antaranya ikan nila, ikan louhan, arapaima, keong mas. Ada juga jenis invasif hasil introduksi lintas region seperti ikan gabus yang dilepas di danau-danau Papua, dan ikan bilih dari Danau Singkarak yang sempat bermasalah karena dilepas di Danau Toba.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, untuk memasukkan spesies atau jenis flora fauna dalam daftar invasif, perlu cara yang dinamakan dengan analisis risiko. 

"Itu (analisis risiko) untuk mengetahui potensi invasif yang masuk, spesiesnya, dan dampak kerusakan ekosistem, lingkungan, maupun ekonomi," ujar Aisyah. 

Sayangnya, kata dia, regulasi terkait jenis asing invasif di Indonesia masih kurang kuat. Sebb, hal ini belum dianggap sebagai isu yang krusial secara nasional. Padahal, di dunia khususnya negara-negara maju, isu keamanan ekosistem dan proteksi keaneragaman hayati sangat menjadi perhatian. 

"Antar lembaga kita masih belum terlalu kuat koordinasinya, apalagi sampai menyeluruh ke sektor swasta, NGO, dan universitas. Tapi kita bisa bangun pelan-pelan," pungkas dia. 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
COP30: 300 Juta Dollar AS Dialokasikan untuk Riset Kesehatan Iklim
COP30: 300 Juta Dollar AS Dialokasikan untuk Riset Kesehatan Iklim
Pemerintah
Startup Indonesia Perkuat Ekosistem Inovasi Berkelanjutan lewat Nusantara Innovation Hub
Startup Indonesia Perkuat Ekosistem Inovasi Berkelanjutan lewat Nusantara Innovation Hub
Swasta
WEF: Transisi Hijau Ciptakan 9,6 Juta Lapangan Kerja Baru pada 2030
WEF: Transisi Hijau Ciptakan 9,6 Juta Lapangan Kerja Baru pada 2030
Pemerintah
Celios: Banyak Negara Maju Belum Bayar Utang Ekologis ke Negara Berkembang
Celios: Banyak Negara Maju Belum Bayar Utang Ekologis ke Negara Berkembang
Pemerintah
Skandal Sawit Kalteng: 108 Perusahaan Masuk Kawasan Hutan, Ogah Bangun Kebun Plasma
Skandal Sawit Kalteng: 108 Perusahaan Masuk Kawasan Hutan, Ogah Bangun Kebun Plasma
LSM/Figur
Tantangan Menggeser Paradigma Bisnis Sawit dari Produktivitas ke Keberlanjutan
Tantangan Menggeser Paradigma Bisnis Sawit dari Produktivitas ke Keberlanjutan
Swasta
Masyarakat Adat Jaga Ekosistem, tapi Hanya Terima 2,9 Persen Pendanaan Iklim
Masyarakat Adat Jaga Ekosistem, tapi Hanya Terima 2,9 Persen Pendanaan Iklim
LSM/Figur
Laporan Mengejutkan: Cuma 19 Persen Perusahaan Sawit di Kalteng Lolos Administrasi
Laporan Mengejutkan: Cuma 19 Persen Perusahaan Sawit di Kalteng Lolos Administrasi
LSM/Figur
Laporan Ceres: Kemajuan Keberlanjutan Air Korporat Terlalu Lambat
Laporan Ceres: Kemajuan Keberlanjutan Air Korporat Terlalu Lambat
Pemerintah
Konsumsi Air Dunia Melonjak 25 Persen, Bank Dunia Ungkap Bumi Menuju Kekeringan
Konsumsi Air Dunia Melonjak 25 Persen, Bank Dunia Ungkap Bumi Menuju Kekeringan
Pemerintah
COP30: 70 Organisasi Dunia Desak Kawasan Bebas Energi Fosil di Hutan Tropis
COP30: 70 Organisasi Dunia Desak Kawasan Bebas Energi Fosil di Hutan Tropis
LSM/Figur
Perkuat Ketahanan Lingkungan dan Ekonomi Warga, Bakti BCA Restorasi Mata Air dan Tanam 21.000 Pohon
Perkuat Ketahanan Lingkungan dan Ekonomi Warga, Bakti BCA Restorasi Mata Air dan Tanam 21.000 Pohon
Swasta
Koalisi Masyarakat Sipil: Program MBG Harus Dihentikan dan Dievaluasi
Koalisi Masyarakat Sipil: Program MBG Harus Dihentikan dan Dievaluasi
LSM/Figur
5,2 Ha Lahan Hutan di Karawang Jadi Tempat Sampah Ilegal
5,2 Ha Lahan Hutan di Karawang Jadi Tempat Sampah Ilegal
Pemerintah
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem Landa Sejumlah Daerah Sepekan ke Depan
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem Landa Sejumlah Daerah Sepekan ke Depan
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau