JAKARTA, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyoroti masih tumpulnya hukum bagi korporasi penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhulta).
Deputi Eksternal Walhi, Mukri Friatna, meyampaikan selama ini pemerintah hanya mengenakan pidana kepada pelaku pembakaran, sedangkan korporasi yang terlibat bisa lolos begitu saja.
"Kalau terhadap pelaku, penindakannya itu gagah perkasa, contoh di Riau 29 orang sudah tersangka. Tetapi terhadap korporasi, misalnya, apa tindakannya, selain pasang police line," kata Mukri saat dihubungi, Jumat (15/8/2025).
Di Kalimantan, lanjut dia, perusahaan pemegang hak guna usaha (HGU) berulang kali memicu karhutla. Namun, permasalahan tersebut tak kunjung selesai dan terus berulang setiap tahunnya. Mukri menilai, kondisi itu diakibatkan ketidaktegasan aparat penegak hukum.
Baca juga: Karhutla di Sumatera Picu Kematian Gajah akibat Terbakarnya Habitat
"Sangat tidak tegas, kalau terhadap petani yang jelas-jelas bukan HGU mudah ditangkap lalu jadi tersangka. Kalau pun kita bisa masuk ke ranah peradilan harus kencang di civil society-nya," tutur dia.
Permasalahan utamanya, bukan terletak pada Undang-Undang, melainkan lemahnya implementasi penegakan hukum. Izin usaha tak langsung dicabut ketika perusahaan terbukti melanggar aturan lingkungan.
"Kalau terhadap korporasi, ya (diberi) peringatan, pasang police line. Kencang-kencangnya kalau civil society-nya mendesaknya kuat baru denda, tetapi belum ada pencabutan," ucap Mukri.
Di sisi lain, dia mencatat bahwa angka karhutla sesungguhnya lebih banyak dibandingkan yang dilaporkan. Berdasarkan laman Sipongi, kasus karhutla mencapai 8.594 hektare pada Januari-Juli 2025.
"Itu belum termasuk Kalimantan Selatan, Jogja, Jawa Barat yang masih nol. Sementara di Kalimantan sendiri ada satu perusahaan yang area kebakaran 1.500 ha, berarti (luasnya) sudah lebih dari 10.000," jelas Mukri.
Dia memperkirakan hingga kini api telah membakar 15.000 ha hutan dan lahan.
Baca juga: Menhut: Angka Karhutla Turun, Presiden Targetkan Nol Kasus
Diberitakan sebelumnya, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, Bambang Hero Saharjo, mengungkapkan pembakaran menjadi cara utama pembukaan lahan karena harganya yang jauh lebih murah. Mayoritas pembakaran dilakukan masyarakat dan perusahaan.
"Hal tersebut dilakukan karena mudah, murah dan cepat, sehingga target produksi yang sudah direncanakan dapat tercapai dengan mudah," kata Bambang saat dihubungi, Senin (11/8/2025).
Bahkan, tidak sedikit kebakaran yang terjadi di wilayah korporasi sengaja diciptakan untuk mendapatkan klaim asuransi yang nilainya mencapai jutaan dollar AS. Bambang menyebut, karhutla menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berujung pada krisis iklim. Selain itu, merusak tanah, mencemari lingkungan, dan menyebabkan asap melintas ke negara tetangga.
"Pada akhirnya bukannya mengurangi dampak emisi gas rumah kaca yang sudah terjadi, namun justru mempercepat dan memperparah dampak perubahan iklim," ujar Bambang.
Karhutla merupakan kejadian yang pasti terjadi di setiap tahunnya. Bambang berpandangan, berulangnya insiden tersebut juga disebabkan pengendalian yang tidak tepat.
Pengendalian karhutla mencakup tiga tahapan penting yakni pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran yang meliputi penegakan hukum serta rehabilitasi lahan. Kendati begitu, pelaksanaannya di lapangan kerap tidak sinkron dengan kondisi teknis di lapangan.
"Dalam realitas pelaksanannya, justru kebakaran sudah terjadi ratusan hektare barulah kegiatan pencegahan dilakukan. Bahkan di tengah-tengah kebakaran yang sedang berlangsung," jelas Bambang.
Baca juga: Ilmuwan Ungkap Dampak Tak Kasatmata Karhutla, Picu Polusi Ozon Berbahaya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya