DISKURSUS mengenai tawaran pengelolaan tambang untuk Ormas keagamaan masih menjadi topik menarik yang selalu diperbincangkan, baik melalui media online, cetak dan elektronik maupun media sosial.
Setidaknya ada dua sudut pandang yang dapat dijumpai dalam masyarakat, yaitu mendukung dan menolak.
Bagi yang mendukung, bahkan telah mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan syarat dan prosedurnya.
Sedangkan yang menolak didasarkan pada asumsi rasa takut dijebak, dikooptasi, atau dibungkam supaya tidak kritis lagi. Mereka beranggapan agar ormas keagamaan tidak ikut mengelola tambang agar nalar kritisnya tetap terjaga.
Tulisan ini tidak sedang ingin menghakimi peta konsep yang berkembang dalam masyarakat tentang tambang untuk Ormas keagamaan, tetapi lebih kepada memberikan pandangan alternatif dalam melihat konteks ini.
Pengelolaan tambang oleh Ormas menjadi tantangan tersendiri. Selama ini tidak jarang Ormas keagamaan mengkritik pemerintah dalam pengelolaan tambang yang menerabas nilai kearifan dan lestari serta agama.
Saatnya Ormas tampil sebagai role model mengelola tambang dengan mengedepankan nilai-nilai keagamaan.
Sumber daya alam merupakan anugerah Allah kepada umat manusia sebagai pengelolanya sekaligus diberikan hak untuk mengoptimalkan hasil bumi untuk kemaslahatan manusia.
Namun, potensi ini kerap disalah-artikan menjadi tindakan eksploitasi hasil bumi secara berlebihan yang mengakibatkan hilangnya keseimbangan ekosistem.
Krisis lingkungan yang terjadi saat ini bersumber pada kesalahan fundamentalis-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia terhadap dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem.
Kesalahan itu menyebabkan kesalahan pola perilaku manusia, terutama dalam berhubungan dengan alam.
Aktivitas produksi dan perilaku konsumtif-hedonis melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif yang berlebihan terhadap sumber daya alam.
Di samping itu, paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah ikut mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan.
Dalam Al-Qur’an, Allah banyak membicarakan tentang manusia dan lingkungan/ekologi di antaranya firman Allah tentang: penciptaan kekayaan alam untuk kemakmuran umat manusia (QS. Baqarah: 29), tentang pemberian kemudahan bagi umat manusia untuk mengambil manfaatnya (QS. AlJatsiyah:13), tentang larangan merusak lingkungan (QS. Al 'Araf: 56), tentang musibah (kebakaran dan kabut asap) disebabkan tangan manusia (QS. Asyu’ara: 30), tentang wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah tentang larangan membakar hutan untuk kemaslahatan manusia (QS. An Nisa: 59).
Di samping ayat-ayat Al-Qur’an di atas, ada hadis Nabi yang juga menegaskan pentingnya pelestarian lingkungan hidup.
Di antaranya, Rasulullah bersabda: “barang siapa yang menimbulkan gangguan kepada kaum muslimin di jalan-jalan mereka, pasti ia akan mendapatkan laknat mereka” (HR. Thabrani).
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda: “sesungguhnya Allah itu Maha indah dan suka kepada keindahan” (HR. Muslim).
Kemudian pada riwayat lain: “sesungguhnya Allah itu Maha baik, menyukai kebaikan. Maha bersih, menyukai kebersihan. Sangat murah pemberiannya, menyukai kemurahan. Oleh karena itu bersihkanlah halaman-halaman rumahmu dan pekarangan-pekarangan mu” (HR.Turmudzi).
Rasulullah menjelaskan keutaman orang yang menghilangkan gangguan lingkungan, sebagai berikut: “ketika seseorang berjalan di suatu jalan kemudian ia menemukan dahan berduri, dan diambilnya, maka Allah berterimakasih (dipuji/diterima amalnya) dan mengampuni dosanya” (HR. Al-Bukhari).
Berdasarkan landasan di atas, maka pesan lingkungan dari agama bisa ditransfer dan menjadi inspirasi baru bagi pengelolaan Sumber daya Alam dan lingkungan hidup.
Rumusan fikih lingkungan sejatinya dapat digunakan sebagai panduan tindakan preventif agama supaya perilaku manusia tidak melawan alam.
Menjaga lingkungan bukan lagi sekadar wajib kifayah, melainkan berhukum wajib ‘ain, yakni kewajiban yang hanya bisa gugur apabila setiap insan di muka bumi ini menunaikannya. Inilah produk fiqih lingungan (al-bi’ah) yang mewajibkan menjaga lingkungan dan mengharamkan merusak lingkungan.
Dengan demikian, maka sebagai produk ijtihad fiqih lingkungan (al-bi’ah) hanya akan menjadi lembaran-lembaran tulisan jika tidak dipadu padankan dengan sikap mental yang dibangun melalui pemaknaan atas relasi manusia dan alam yang kemudian bisa kita sebut sebagai paradigm ekosofi.
Ekosofi merupakan penggabungan kata ecology dengan philosophy. Meskipun definisi ekosofi tergolong baru dalam dunia intelektual masa kini, sejatinya, gagasan-gagasan ini sudah muncul dalam tradisi-tradisi sufi di masa lampau.
Kajian-kajian ekosofi lebih mengarahkan manusia untuk lebih membumi. Manusia yang lebih membumi mempunyai pandangan bahwa spesies manusia adalah bagian organik dari bumi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Paradigma antroposentrisme dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkembang selama ini menyebabkan sederat malapetaka yang terjadi di bumi ini.
Seyyed Hossein Nasr melihat bahwa antroposentrisme telah mengalami pembusukan dari dalam berupa krisis spiritual sehingga rasa menguasai berpadu dengan motif non-ekonomi menyangkut aspek mental-spiritual yang mengendalikan aspek-aspek batin.
Aspek motif non-ekonomi ini ternyata lebih berbahaya dibandingkan motif ekonomi. Krisis lingkungan yang terjadi lebih disebabkan krisis spiritual.
Manusia modern telah melakukan desakralisasi terhadap alam. Alam telah dijadikan sebagai “komoditas/barang” dan harus dipakai serta dinikmati semaksimal mungkin.
Membangun kembali kesadaran spiritualitas yang menyangkut cara pandang manusia, baik dalam skala dirinya, sesamanya, lingkungannya serta terhadap Tuhannya adalah hal yang penting dilakukan.
Manusia yang mampu merelasikan antara dirinya, Tuhan dan kosmos akan menapak jalan menuju kesempurnaan material dan spiritual.
Dengan interaksi secara seimbang dan harmonis dengan manusia lain, alam semesta dan ekosistem yang tentunya akan menjaga bumi dari kehancuran dan dapat menjaga keberlanjutan bagi generasi selanjutnya.
Maka pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan dengan prinsip-prinsip kebaikan, kesejahteraan, dan perlindungan lingkungan merupakan bagian dari ibadah dan ketaatan kepada Allah.
Dengan mempertimbangkan aspek hukum dan ajaran agama ini, pengelolaan sumber daya alam harus sejalan dengan nilai-nilai keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan yang dijunjung tinggi dalam hukum dan ajaran agama serta sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan, keadilan sosial, dan kebaikan bersama itu lah sejatinya implikasi dari pertambangan hijau (green mining).
Karena sejatinya setiap generasi memiliki hutang sekaligus tanggungjawab atas peradaban yang dibangunnya.
Hutang kita pada peradaban ini adalah dengan menjaga ekosistemnya dan mewariskan keberlanjutan pemanfaatan berbagai sumber daya alam, baik yang ada di laut, di daratan dan di dalam hutan untuk kebutuhan generasi selanjutnya melalui semangat pertambangan hijau (green mining).
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya