"Rural infrastructure investment is pivotal in unlocking the economic potential of villages, fostering sustainable development and enhancing livelihoods."( World Bank, dalam "Investing in Rural Infrastructure: Challenges and Opportunities", 2020)
SEPERTI yang diilustrasikan oleh kutipan di atas, bayangkan sebuah desa yang asri, di mana jalan-jalan beraspal halus menghubungkan rumah-rumah yang tertata rapi, dan fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas berdiri kokoh melayani masyarakat.
Desa-desa ini menjadi pusat perekonomian yang dinamis dengan hasil pertanian dan peternakan melimpah, yang tidak hanya mencukupi kebutuhan sendiri, tetapi juga memasok ke pasar-pasar di kota.
Namun, realitas yang kita hadapi saat ini sering kali jauh dari gambaran ideal.
Potensi besar dari desa tidak termanfaatkan sebagaimana mestinya. Anggaran pembangunan untuk desa sering kali tidak jauh dari bayang-bayang korupsi.
Berdasarkan catatan Kompas (2023), selama periode 2015-2021, tak kurang dari Rp 433,8 miliar dana desa dikorupsi. Jumlah pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka mencapai 729 orang.
Sebelumnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) juga merilis data mengejutkan: selama 2015-2021, dana desa yang digelontorkan pemerintah mencapai Rp 400,1 triliun.
Selama periode itu, terjadi 592 kasus korupsi di tingkat desa dengan 729 tersangka. Akibat praktik korupsi tersebut, kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.
Dalam Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2022 yang disampaikan ICW, terungkap tren korupsi terus mengalami peningkatan sejak adanya dana desa.
Laporan ini disusun dengan melihat tren korupsi di desa dalam periode 2016-2022. Fakta ini sangat mengkhawatirkan karena menunjukkan bahwa alih-alih menjadi pendorong pembangunan, dana desa justru menjadi sumber malapetaka yang menggerogoti potensi besar desa-desa di Indonesia.
Korupsi terhadap pembangunan desa sangat mengkhawatirkan. Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengembangkan ekonomi lokal, justru diselewengkan untuk kepentingan pribadi segelintir orang.
Korupsi ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem pemerintahan desa.
Banyak persoalan melatarbelakangi terjadinya korupsi dana desa, yang merampas hak masyarakat untuk menikmati hasil pembangunan yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan mereka.
Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa besarnya alokasi anggaran desa menjadi tantangan besar bagi pemberantasan korupsi, terutama dalam aspek transparansi dan akuntabilitas.
Dana desa yang melimpah seharusnya menjadi berkah, namun tanpa pengawasan ketat, alokasi ini justru menjadi godaan bagi mereka yang memiliki niat buruk.
Namun, korupsi dana desa bukan hanya tentang kurangnya transparansi. Ada dua faktor lain yang turut berperan dalam menciptakan kondisi ini.
Pertama, kepala desa yang tidak kompeten dalam mengelola keuangan menjadi salah satu penyebab utama masalah ini.
Sistem pemilihan langsung sering kali tidak menghasilkan pemimpin yang benar-benar memahami tata kelola pemerintahan yang baik.
Banyak kepala desa terpilih yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola dana desa, sehingga mereka rentan terhadap praktik korupsi.
Kepemimpinan yang lemah ini memperburuk situasi, di mana dana desa yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, justru disalahgunakan.
Desa-desa dengan potensi besar terjebak dalam siklus kemiskinan dan keterbelakangan karena pengelolaan yang buruk.
Kedua, ketidakselarasan pendapatan dan pembangunan infrastruktur juga menjadi kendala. Sejatinya, pembangunan infrastruktur desa harus disesuaikan dengan pendapatan per kapita desa.
Desa dengan pendapatan tinggi seharusnya memiliki infrastruktur lebih baik dibandingkan desa dengan pendapatan rendah.
Namun, kenyataannya sering kali tidak demikian. Banyak desa yang infrastruktur dasarnya tertinggal jauh, padahal potensinya sangat besar.
Mengapa kita tidak mengarahkan dana desa ke program-program yang lebih konkret dan produktif? Fokus pada pertanian dan peternakan, misalnya.
Dengan dana yang ada, kita bisa membangun fasilitas pengemasan hasil produk pertanian dan peternakan, serta mendukung pemasaran produk-produk tersebut.
Menghidupkan kembali koperasi unit desa sebagai sentra usaha hasil pertanian dan peternakan adalah langkah bijak.
Ini akan meningkatkan nilai tambah dan nilai jual produk desa, memperkuat ekonomi lokal, dan mengurangi ketergantungan pada bantuan pemerintah.
Pemerintah harus mengambil pendekatan bijak seperti pepatah "Jangan berikan ikan, tetapi berikanlah kailnya", yaitu memberikan bantuan yang memberdayakan dan tepat guna bagi masyarakat desa.
Namun, penting juga untuk memperhatikan infrastruktur dasar seperti jalan-jalan utama, jembatan antardesa, dan fasilitas kesehatan.
Tanggung jawab pembangunan ini seharusnya menjadi fokus pemerintah pusat untuk memastikan setiap desa memiliki akses yang adil terhadap infrastruktur yang memadai.
Kesenjangan sosial dan ekonomi antara desa yang kaya dan miskin harus diperkecil agar tidak merusak tatanan sosial.
Untuk memperbaiki pengelolaan dana desa, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama.
Komitmen kuat dari semua pihak diperlukan untuk mengatasi masalah korupsi dan memastikan pembangunan desa yang efektif.
Pelatihan dan pendidikan bagi kepala desa dan aparaturnya juga harus ditingkatkan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola administrasi dan keuangan pemerintahan desa.
Pemerintah pusat dan daerah perlu mengambil peran aktif dalam membangun infrastruktur strategis di desa-desa, memberikan fondasi kuat bagi pengembangan potensi penuh setiap desa.
Dengan demikian, desa-desa dapat berkembang secara berkelanjutan dan memanfaatkan potensi ekonomi mereka dengan lebih efektif.
Di masa lalu, tata kelola desa berbasis adat di Sumatera Barat memberikan pelajaran berharga tentang kebijaksanaan dan ketangguhan.
Kepala desa dan aparaturnya dibiayai oleh aset-aset desa seperti tanah nagari, yang dikelola dengan penuh tanggung jawab dan kearifan lokal, menciptakan pemerintahan desa yang solid dan berdaya.
Namun, dengan berlakunya sistem pemilihan langsung dan pembiayaan penuh oleh negara, semangat mengelola aset desa mulai memudar.
Aset-aset desa sering kali dijual untuk menutupi modal kepala desa terpilih, menciptakan ketidakpedulian dan kerusakan tatanan desa.
Meskipun undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menetapkan bahwa pemilihan kepala desa dilakukan secara langsung oleh warga desa melalui mekanisme pemungutan suara, sementara untuk beban anggarannya, sesuai dengan Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 dibebankan ke APBDes.
Pemilihan kepala desa yang menggunakan anggaran dari keuangan negara menurut penulis adalah pemborosan yang seharusnya bisa dihindari. Apalagi biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit.
Misalnya di Jember, pada pemilihan kepala desa 2021 lalu, menghabiskan rata-rata setiap desa Rp 150 juta (Radarjember.id, 2021). Ini tentu bukan jumlah sekdikit, mengingat ruang lingkup dan luas pemerintahan desa tidaklah luas.
Bila pemilihan kepala desa bukan lagi melalui mekanisme pemilihan langsung, maka anggaran yang dialokasikan untuk proses ini dapat digunakan lebih efisien untuk memenuhi kebutuhan mendesak lainnya di tingkat lokal, seperti pembangunan infrastruktur atau pengembangan ekonomi masyarakat.
Dengan meminimalkan ketergantungan pada dana publik untuk proses administratif semacam ini, pemerintah bisa lebih fokus pada alokasi dana yang lebih produktif dan berkelanjutan bagi kemajuan desa secara keseluruhan.
Tidak hanya itu, hilangnya tatanan hukum adat dalam pemilihan kepala desa telah lama terbangun menyebabkan kekacauan dalam sistem pemerintahan desa.
Permusuhan antarkelompok masyarakat desa, bahkan pembunuhan karena perebutan kekuasaan kepala desa, menciptakan kemerosotan moral dan sosial yang mengkhawatirkan.
Jika dibiarkan, ini bisa menjadi bibit disintegrasi bangsa, meningkatkan angka kriminalitas, dan menurunkan kualitas hidup serta pertumbuhan ekonomi desa.
Mungkin sudah saatnya kita kembali melihat sistem tradisional. Untuk wilayah adat, pengangkatan kepala desa bisa dilakukan berdasarkan sistem adat setempat.
Ini memastikan bahwa pemimpin desa dipilih berdasarkan kearifan lokal dan diterima oleh masyarakat. Untuk wilayah non-adat, pengangkatan kepala desa bisa diatur seperti pengisian jabatan ASN.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) juga dapat dipilih berdasarkan sistem adat untuk wilayah adat, dan sistem demokratis untuk wilayah non-adat.
Dengan demikian, kearifan lokal tetap terjaga, sekaligus menciptakan pemerintahan desa yang lebih stabil dan berintegritas.
Selain itu, tata kelola pemerintahan desa yang baik memerlukan peran sekretariat desa yang kuat.
Dengan mengisi posisi sekretariat desa dengan PNS kompeten, kita memastikan bahwa kebijakan dan administrasi pemerintahan desa sesuai dengan standar nasional.
Sekretariat desa akan menjadi pilar utama dalam pengaturan tata kelola administrasi pemerintahan desa, menjaga agar segala sesuatunya berjalan sesuai prosedur dan teratur.
Dengan langkah-langkah ini, kita bisa menggali potensi besar desa-desa kita, membangun infrastruktur yang berkelanjutan, dan menciptakan masyarakat desa yang sejahtera.
Hanya dengan komitmen bersama, kita bisa mewujudkan visi desa yang asri, dinamis, dan mandiri, di mana setiap warganya dapat menikmati hasil pembangunan yang adil dan merata.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya