JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono mengatakan, mangrove yang tersebar di Indonesia telah mengalami ancaman deforestasi.
Deforestasi adalah penggundulan hutan, penebangan hutan atau tegakan pohon sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan non-hutan, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, atau permukiman.
“Dilihat dari citra satelit, sepanjang tahun 1980-2010, dalam kurun waktu 30 tahun terjadi deforestasi mangrove yang masif,” ujar Hartono saat membuka acara “Mangrove for Future” di Jakarta, Jumat (26/7/2024).
“Dan berdasarkan penelitian dari BSI KLHK, antara tahun 2021-2030 diperkirakan akan terjadi tambahan deforestasi mengrove seluas 299.258 hektar, artinya lajunya sekitar 29.000 hektar per tahun,” sambungnya.
Hal ini disebut berdampak negatif bagi keberlangsungan hidup manusia maupun ekosistem di sekitar mangrove. Sebab, selain mencegah abrasi, merusak habitat flora dan fauna di sekitar mangrove, serapan emisi karbon juga akan berkurang.
“Emisi akibat deforestasi mangrove dapat mencapai 1.000 ton per hektar, serta potensi serapan emisi yang hilang dari mangrove yang telah dikonversi adalah 50 ton per hektar per tahun,” paparnya.
Dengan ancaman tersebut, perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia menjadi sangat krusial.
Padahal, Indonesia memiliki hutan mangrove seluas 3,44 juta hektar, atau setara dengan 20 persen dari total luas mangrove dunia.
Oleh karena itu, Hartono menjelaskan bahwa BRGM ditugaskan oleh Presiden Jokowi untuk melaksanakan rehabilitasi mangrove dengan areal seluas 600.000 hektar di sembilan provinsi.
“Ada di Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Papua,” terangnya, saat jumpa media usai pembukaan.
Adapun target 600.000 hektar ini terbagi menjadi dua jenis upaya. Pertama, target 200.000 hektar untuk rehabilitasi mangrove melalui kegiatan penanaman oleh masyarakat.
Kedua, target 400.000 hektar berupa pengelolaan lanskap mangrove berkelanjutan, termasuk di dalamnya melindungi area mangrove yang masih utuh melalui penguatan regulasi, kelembagaan, serta pemberdayaan masyarakat.
Selain itu, pihaknya juga menjalin kolaborasi dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), salah satunya dalam penerbitan RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
“Terbitnya RPP ini diharapkan dapat mengatur pengelolaan mangrove dari sisi lingkungan hidup sehingga dapat mengisi kekosongan payung hukum dari ketentuan perundangan yang sudah ada,” terang Hartono.
Sebab, ia mengatakan, regulasi saat ini yang mengatur terkait perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove belum lengkap.
Beberapa hal yang tercakup dalam RPP tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di antaranya:
1. Penataan dan penetapan fungsi ekosistem mangrove berbasis Kesatuan Lanskap Mangrove (KLM) baik di dalam, maupun di luar kawasan hutan;
2. Pemanfaatan, Perlindungan, dan Pengawasan Ekosistem Mangrove;
3. Kriteria baku kerusakan dan pemulihan ekosistem mangrove;
4. Regulasi pengelolaan mangrove yang bersifat lintas sektor;
5. Optimalisasi peran stakeholders, termasuk kelompok masyarakat, NGO, dan sektor privat.
“Dengan terbitnya RPP tersebut utamanya kami berharap salah satu permasalahan besar yang kami hadapi di lapangan dapat terselesaikan, yakni terkait perlindungan terhadap ekosistem mangrove utuh yang berada di luar kawasan hutan (APL),” ujar Hartono.
Ia menjelaskan bahwa saat ini terdapat kurang lebih 739.792 hektar mangrove eksisting yang berstatus APL.
“Jika tidak ada regulasi yang melindungi, maka mangrove ini terancam dikonversi,” imbuhnya.
Selain itu, ia menegaskan bahwa perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove merupakan pekerjaan multi-sektor dan multi-stakeholders.
Artinya, perlu dukungan berkelanjutan baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, pihak swasta, lembaga filantropi, komunitas, hingga organisasi internasional.
“Kunci pelaksanaan tugas percepatan restorasi, adalah internalisasi norma-norma baru ke dalam regulasi di masing-masing stakeholders, koordinasi dan integrasi pelaksanaan berbasis lanskap mangrove,” ujarnya.
Sementara itu, Wamen LHK Alue Dohong mengajak pihak terkait sekaligus masyarakat untuk bersama-sama menjaga ekosistem mangrove dengan menerapkan strategi 3M.
“Menurut kami strateginya 3M. M itu pertama, menjaga yang tersisa, yang masih bagus. M yang kedua, meningkatkan nilai-nilai jasa ekosistem yang mengalami degradasi pengayaan penanaman dan perlindungan dari kerusakan. Ketiga, adalah memulihkan (atau) merestorasi mangrove yang sudah rusak,” pungkas Alue.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya