Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 26 Oktober 2024, 15:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Upaya pemerintah untuk mendorong hilirisasi nikel yang lebih masif berpotensi menaikkan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia.

Hal tersebut disebabkan lantaran Indonesia masih ketergantungan terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara pada operasi produksi nikel.

Hal tersebut terungkap dalam laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) berjudul Indonesia's Nickel Companies: The Need for Renewable Energy Amid Increasing Production.

Baca juga: Industri Nikel Nasional Diminta untuk Sukarela Diaudit Tata Kelolanya

Rencana kenaikan produksi dari empat perusahaan nikel besar di Indonesia saja, yakni PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Merdeka Battery Materials (MBMA) Tbk, PT Trimegah Bangun Persada (Harita Nickel) Tbk, dan PT Vale Indonesia Tbk, diprediksi meningkatkan emisi GRK 38,5 juta ton karbon dioksida pada 2028.

Keempat perusahaan tersebut berkontribusi lebih dari seperempat produksi nikel Indonesia yakni 350.000 ton pada 2023. Emisi GRK yang dihasilkan mencapai hingga 15 juta ton.

Pada tahun yang sama, keempat perusahaan ini berhasil meraup laba 996 juta dollar AS dan pendapatan 6,8 miliar dollar AS. Keempat perusahaan ini berencana menaikkan kapasitas total produksinya menjadi 1,05 juta ton logam nikel pada 2028.

"Seiring perusahaan nikel Indonesia menikmati pertumbuhan laba dan skala bisnisnya, dengan rencana meningkatkan produksi lebih dari dua kali lipat dalam tiga sampai tahun ke depan, sudah saatnya dilakukan percepatan transisi dari batu bara," kata Analis Keuangan Energi IEEFA Ghee Peh sekaligus penulis laporan tersebut, dikutip dari siaran pers, Kamis (24/10/2024).

Saat ini, Antam tercatat hasilkan emisi GRK terbesar dari setiap ton nikel yang diproduksi, yakni 69,9 ton karbon dioksida per ton nikel.

Baca juga: Bahlil: Industri Mobil Listrik Global Andalkan RI untuk Pasok Nikel

Sementara Harita menempati posisi kedua dengan angka emisi 68,4 ton karbon dioksida per ton nikel, disusul MBMA 56,9 ton karbon dioksida per ton nikel, dan terakhir Vale 28,7 ton karbon dioksida per ton nikel.

Tingginya emisi GRK ketiga perusahaan dikarenakan masih mengandalkan PLTU batu bara untuk proses produksinya. Sementara Vale telah memiliki pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik berbasis biodiesel untuk sumber listriknya.

Laporan IEEFA menyatakan, intensitas emisi Vale menjadi yang terendah karena tingginya porsi energi terbarukan yang digunakan, yakni mencapai 30,1 persen.

Sementara itu, porsi energi terbarukan dari ketiga perusahaan lain adalah Harita 5,3 persen, MBMA 4,9 persen, dan Antam 1,2 persen.

Meski demikian, Vale masih menggunakan bahan bakar fosil untuk mayoritas smelter dan proses produksinya, sehingga masih menghasilkan emisi GRK.

Baca juga: Pemerintahan Baru Janji akan Jalankan Hilirisasi Nikel yang Berkelanjutan

Selain Vale, hingga saat ini baru Harita yang berencana menggunakan pembangkit listrik energi terbarukan.

Harita berencana membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 300 megawatt (MW) pada 2025, yang akan membuat intensitas emisinya setara Vale.

MBMA juga berencana menggunakan PLTS namun tidak merinci kapasitasnya. Sementara Antam baru berencana menghentikan PLTU yang dimilikinya, namun hanya untuk beralih menggunakan listrik dari PT PLN (Persero) dengan sumber pembangkit listrik berbahan bakar gas dan PLTU.

Pemanfaatan energi terbarukan oleh Vale dan Harita menunjukkan bahwa perusahaan nikel Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada PLTU dan memangkas intensitas emisi.

Namun, untuk menurunkan intensitas emisi lebih signifikan, perusahaan nikel Indonesia perlu beralih ke energi air, surya, atau energi terbarukan lainnya.

"Perusahaan harus menyeimbangkan manfaat ekonomi dari naiknya ekspor produk hilirisasi nikel dengan dampak lingkungan, dan mengurangi emisi GRK dengan mengganti PLTU dengan energi terbarukan," tegas Ghee Peh.

Baca juga: Guru Besar ITB: Implementasi ESG Bisa Hapus Cap Negatif Nikel Indonesia

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
Jelajah Mangrove di Pulau Serangan Bali, Terancam Sampah dan Sedimentasi
LSM/Figur
Guru Besar IPB Sebut Tak Tepat Kebun Sawit Penyebab Banjir Sumatera
Guru Besar IPB Sebut Tak Tepat Kebun Sawit Penyebab Banjir Sumatera
LSM/Figur
Perkuat Profesionalisme, AIIR Jadi Organisasi Profesi Investor Relations Pertama di Indonesia
Perkuat Profesionalisme, AIIR Jadi Organisasi Profesi Investor Relations Pertama di Indonesia
LSM/Figur
13 Perusahaan Dinilai Picu Banjir Sumatera, Walhi Desak Kemenhut Cabut Izinnya
13 Perusahaan Dinilai Picu Banjir Sumatera, Walhi Desak Kemenhut Cabut Izinnya
LSM/Figur
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
Agroforestri Karet di Kalimantan Barat Kian Tergerus karena Konversi Sawit
LSM/Figur
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Perkebunan Sawit Tak Bisa Gantikan Hutan untuk Serap Karbon dan Cegah Banjir
Pemerintah
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
Di Balik Kayu Gelondongan yang Terdampar
LSM/Figur
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Survei LinkedIn 2025 Sebut Permintaan Green Skills di Dunia Kerja Meningkat
Swasta
Menunda Net Zero Picu Gelombang Panas Ekstrem, Wilayah Dekat Khatulistiwa Paling Terdampak
Menunda Net Zero Picu Gelombang Panas Ekstrem, Wilayah Dekat Khatulistiwa Paling Terdampak
LSM/Figur
Guru Besar IPB Sebut Kebun Sawit di Sumatera Bisa Jadi Hutan Kembali
Guru Besar IPB Sebut Kebun Sawit di Sumatera Bisa Jadi Hutan Kembali
Pemerintah
Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit
Banjir Sumatera Jadi Pelajaran, Kalimantan Utara Siapkan Regulasi Cegah Ekspansi Sawit
Pemerintah
Panas Ekstrem Ganggu Perkembangan Belajar Anak Usia Dini
Panas Ekstrem Ganggu Perkembangan Belajar Anak Usia Dini
Pemerintah
Implementasi B10 Hemat Rp 100 T Per Tahun, Ini Strategi Pertamina agar Pasokan Stabil
Implementasi B10 Hemat Rp 100 T Per Tahun, Ini Strategi Pertamina agar Pasokan Stabil
BUMN
Genjot Pengumpulan Botol Plastik PET, Coca-Cola Indonesia Luncurkan Program “Recycle Me” 2025
Genjot Pengumpulan Botol Plastik PET, Coca-Cola Indonesia Luncurkan Program “Recycle Me” 2025
Swasta
KLH Janji Tindak Tegas Perusahaan yang Picu Banjir di Sumatera Utara
KLH Janji Tindak Tegas Perusahaan yang Picu Banjir di Sumatera Utara
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau