KOMPAS.com - Upaya pemerintah untuk mendorong hilirisasi nikel yang lebih masif berpotensi menaikkan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia.
Hal tersebut disebabkan lantaran Indonesia masih ketergantungan terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara pada operasi produksi nikel.
Hal tersebut terungkap dalam laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) berjudul Indonesia's Nickel Companies: The Need for Renewable Energy Amid Increasing Production.
Baca juga: Industri Nikel Nasional Diminta untuk Sukarela Diaudit Tata Kelolanya
Rencana kenaikan produksi dari empat perusahaan nikel besar di Indonesia saja, yakni PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Merdeka Battery Materials (MBMA) Tbk, PT Trimegah Bangun Persada (Harita Nickel) Tbk, dan PT Vale Indonesia Tbk, diprediksi meningkatkan emisi GRK 38,5 juta ton karbon dioksida pada 2028.
Keempat perusahaan tersebut berkontribusi lebih dari seperempat produksi nikel Indonesia yakni 350.000 ton pada 2023. Emisi GRK yang dihasilkan mencapai hingga 15 juta ton.
Pada tahun yang sama, keempat perusahaan ini berhasil meraup laba 996 juta dollar AS dan pendapatan 6,8 miliar dollar AS. Keempat perusahaan ini berencana menaikkan kapasitas total produksinya menjadi 1,05 juta ton logam nikel pada 2028.
"Seiring perusahaan nikel Indonesia menikmati pertumbuhan laba dan skala bisnisnya, dengan rencana meningkatkan produksi lebih dari dua kali lipat dalam tiga sampai tahun ke depan, sudah saatnya dilakukan percepatan transisi dari batu bara," kata Analis Keuangan Energi IEEFA Ghee Peh sekaligus penulis laporan tersebut, dikutip dari siaran pers, Kamis (24/10/2024).
Saat ini, Antam tercatat hasilkan emisi GRK terbesar dari setiap ton nikel yang diproduksi, yakni 69,9 ton karbon dioksida per ton nikel.
Baca juga: Bahlil: Industri Mobil Listrik Global Andalkan RI untuk Pasok Nikel
Sementara Harita menempati posisi kedua dengan angka emisi 68,4 ton karbon dioksida per ton nikel, disusul MBMA 56,9 ton karbon dioksida per ton nikel, dan terakhir Vale 28,7 ton karbon dioksida per ton nikel.
Tingginya emisi GRK ketiga perusahaan dikarenakan masih mengandalkan PLTU batu bara untuk proses produksinya. Sementara Vale telah memiliki pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik berbasis biodiesel untuk sumber listriknya.
Laporan IEEFA menyatakan, intensitas emisi Vale menjadi yang terendah karena tingginya porsi energi terbarukan yang digunakan, yakni mencapai 30,1 persen.
Sementara itu, porsi energi terbarukan dari ketiga perusahaan lain adalah Harita 5,3 persen, MBMA 4,9 persen, dan Antam 1,2 persen.
Meski demikian, Vale masih menggunakan bahan bakar fosil untuk mayoritas smelter dan proses produksinya, sehingga masih menghasilkan emisi GRK.
Baca juga: Pemerintahan Baru Janji akan Jalankan Hilirisasi Nikel yang Berkelanjutan
Selain Vale, hingga saat ini baru Harita yang berencana menggunakan pembangkit listrik energi terbarukan.
Harita berencana membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 300 megawatt (MW) pada 2025, yang akan membuat intensitas emisinya setara Vale.
MBMA juga berencana menggunakan PLTS namun tidak merinci kapasitasnya. Sementara Antam baru berencana menghentikan PLTU yang dimilikinya, namun hanya untuk beralih menggunakan listrik dari PT PLN (Persero) dengan sumber pembangkit listrik berbahan bakar gas dan PLTU.
Pemanfaatan energi terbarukan oleh Vale dan Harita menunjukkan bahwa perusahaan nikel Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada PLTU dan memangkas intensitas emisi.
Namun, untuk menurunkan intensitas emisi lebih signifikan, perusahaan nikel Indonesia perlu beralih ke energi air, surya, atau energi terbarukan lainnya.
"Perusahaan harus menyeimbangkan manfaat ekonomi dari naiknya ekspor produk hilirisasi nikel dengan dampak lingkungan, dan mengurangi emisi GRK dengan mengganti PLTU dengan energi terbarukan," tegas Ghee Peh.
Baca juga: Guru Besar ITB: Implementasi ESG Bisa Hapus Cap Negatif Nikel Indonesia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya