KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyerukan perlindungan keanekaragaman hayati dalam KTT COP16.
Keanekaragaman hayati Indonesia terancam oleh aktivitas industri-industri ekstraktif seperti pertambangan, eksploitasi dan penebangan hutan, pertanian skala besar, serta berbagai proyek strategis nasional.
Izin-izin industri ekstraktif di Indonesia disebut melampaui 100 juta hektare daratan dan lautan di Indonesia.
Kehadiran industri-industri, yang juga didorong permintaan dan kebutuhan global seperti batu bara, minyak sawit, kayu, dan nikel, telah menyebabkan deforestasi besar-besaran dan kerusakan habitat.
Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia (FWI) menyatakan, komitmen terhadap perlindungan keanekaragaman hayati harus ditunjukkan dengan aksi nyata mengurangi secara signifikan aktivitas-aktivitas industri ekstraktif yang membahayakan keanekaragaman hayati.
Contohnya aktivitas yang dia maksudseperti industri ekstraktif nikel, sawit, food estate, hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), pertambangan, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, saat ini ada lebih dari 1 juta hektare industri ekstraktif di kawasan konservasi.
Baca juga: KTT Keanekaragaman Hayati COP16 Resmi Dimulai, Ini Daftar Agendanya
"Selain itu, ada juga 20,5 juta hektare industri ekstraktif berada dalam area ekosistem penting seperti koridor satwa, taman keanekaragaman hayati, dan area biodiversitas penting," kata Ogy dikutip dari siaran pers, Kamis (24/10/2024).
Keanekaragaman hayati laut Indonesia juga perlu segera dilindungi. Saat ini, jutaan hektare wilayah laut Indonesia dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat pesisir. H
al ini berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan pencapaian (Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP), khususnya dalam upaya melindungi 30 persen area laut Indonesia.
Rayhan Dudayev dari Greenpeace menyampaikan, Indonesia perlu mendukung teks yang memastikan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Baca juga: Seruan Pendanaan Pelestarian Alam Menggema dalam KTT Keanekaragaman Hayati COP16
Di samping itu, akses terhadap keadilan dan informasi, serta perlindungan bagi pembela hak asasi manusia dan lingkungan, masyarakat adat, dan komunitas lokal, dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia.
Organisasi masyarakat sipil juga mengkritik program food estate yang diandalkan pemerintah untuk swasembada pangan.
Saat ini, pengembangan program food estate berlangsung di beberapa provinsi seperti di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Papua Selatan dengan target luas lebih dari 2 juta hektare.
Program food estate tersebut dinilai mengakibatkan kehancuran ekosistem keanekaragaman hayati dan wilayah adat, budaya serta kearifan lokal masyarakat adat.
Baca juga: Mengenal KTT Keanekaragaman Hayati COP16 dan Urgensinya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya