KOMPAS.com - Polusi plastik telah menjadi problem dunia saat ini dan berbagai cara coba dicari untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Salah satu yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan kemampuan serangga.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa serangga dapat menelan dan menyerap mikroplastik murni dan tidak dimurnikan. Namun itu terjadi hanya dalam situasi yang tidak realistis dan kekurangan makan.
Kali ini, peneliti dari University of British Colombia, Kanada menguji ulat Jerman dalam skenario yang lebih realistis, yakni memberikan mereka produk plastik umum dan dicampur dengan kulit 0adi
Baca juga: Perjanjian Plastik Global Jadi Momentum RI Pimpin Ekonomi Hijau
Ulat Jerman adalah pemulung dan pengurai alam, mampu bertahan hidup hingga delapan bulan tanpa makanan atau air.
Ulat ini juga bisa berubah menjadi kanibal saat makanan langka.
Dikutip dari Phys, Kamis (5/12/2024) setelah 30 hari, tim peneliti menemukan bahwa ulat Jerman memakan sekitar setengah dari mikroplastik yang tersedia, sekitar 150 partikel per serangga dan bertambah berat badannya.
Baca juga: Negara-negara Miskin Daur Ulang Limbah Plastik Impor Lebih Banyak dari Perkiraan
Ulat mengeluarkan sebagian kecil dari mikroplastik yang dikonsumsi, sekitar empat hingga enam partikel per miligram limbah dan menyerap sisanya.
Dari situ peneliti menyimpulkan memakan mikroplastik tampaknya tidak memengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan serangga.
Peneliti pun menambahkan langkah selanjutnya adalah mempelajari mekanisme pencernaan serangga tentang cara memecah mikroplastik dan meningkatkan pembelajaran ini untuk mengatasi polusi plastik.
"Kita membunuh jutaan serangga setiap hari dari pestisida umum termasuk serangga yang memecah plastik dan bahan kimia lainnya. Sudah saatnya kita mulai memandang serangga sebagai teman," ungkap Dr. Michelle Tseng, ahli zoologi dari University of British Colombia.
Melansir Eco Business, laporan awal tahun ini oleh Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley milik pemerintah federal AS menyebutkan produksi plastik akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050 dan dapat menyumbang 20 persen emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan 5 persen pada tahun 2019.
Baca juga: Pencarian Gambar di Internet Dipengaruhi oleh Pandangan tentang Perubahan Iklim
Plastik menyebabkan polusi yang meluas di darat dan di laut, membahayakan kesehatan manusia, dan merusak habitat laut yang rentan seperti terumbu karang dan hutan bakau.
Antara 400.000 hingga 1 juta orang diperkirakan meninggal setiap tahun di negara-negara berkembang karena penyakit seperti diare dan kanker yang terkait dengan plastik dan sampah lain yang tidak dikelola dengan baik, menurut laporan tahun 2019 oleh lembaga amal Tearfund.
Produksi plastik juga berperan dalam perubahan iklim, karena terbuat dari bahan bakar fosil seperti minyak dan gas.
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat sepanjang siklus hidupnya plastik mengeluarkan 3,4 persen emisi pemanasan global.
Baca juga: Perjanjian Polusi Plastik Global di Korea Selatan Gagal Capai Kesepakatan
Sayangnya, di seluruh dunia hanya 9 persen sampah plastik yang didaur ulang.
Padahal menurut OECD, sampah plastik global diperkirakan akan meningkat hampir tiga kali lipat menjadi 1,2 miliar ton pada tahun 2060 dari 460 juta ton pada tahun 2019.
Masalah makin parah terjadi di negara-negara berkembang yang tidak memiliki proses daur ulang yang canggih seperti negara-negara kaya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya