KOMPAS.com - Studi yang dilakukan oleh peneliti dari Universitas Leiden, Belanda mengungkapkan negara miskin mendaur ulang limbah plastik impor lebih banyak dari perkiraan. Temuan tersebut merupakan hasil dari analisis peneliti menggunakan Comtrade.
Hal itu merupakan platform global untuk data perdagangan yang kemudian dapat digunakan oleh peneliti mengetahui berapa banyak plastik yang diimpor oleh 22 negara dan berapa yang mereka bayar untuk itu.
"Negara-negara miskin mengimpor sampah terbanyak. Sedangkan negara-negara kaya juga mengimpor sampah namun yang berkualitas tinggi dan telah dipilah dengan baik untuk menjaga agar fasilitas daur ulang mereka tetap beroperasi," papar Kai Li, peneliti studi ini.
Meski terdengar aneh, sebagian besar sampah plastik ini bisa diubah menjadi bahan baku yang berharga seperti misalnya pelet polietilena yang terbuat dari kemasan botol dan kaleng tertentu.
Baca juga:
Untuk mengetahui seberapa banyak limbah plastik yang telah di daur ulang, peneliti menggunakan beberapa metode.
Mengutip Phys, Selasa (29/10/2024) setelah peneliti mengetahui berapa banyak plastik yang diimpor setiap negara dan berapa yang mereka bayar, peneliti kemudian menentukan biaya daur ulang plastik menjadi produk yang dapat dijual kembali.
Peneliti menghitung setepat mungkin berapa biaya untuk mendaur ulang setiap jenis plastik di setiap negara.
"Itu tergantung pada faktor-faktor seperti metode yang digunakan, biaya energi, dan upah tenaga kerja, biaya-biaya ini sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain dan menurut jenis plastik," jelas Li.
Li dan rekan-rekannya menghitung proporsi minimum plastik impor yang perlu didaur ulang dan dijual di setiap negara agar mencapai titik impas dan membuat impor menguntungkan.
Hasilnya, rata-rata, suatu negara harus mendaur ulang setidaknya 63 persen plastik impor. Angka tersebut jauh lebih tinggi 23 persen daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Para peneliti berasumsi bahwa tingkat daur ulang minimum ini memang terpenuhi. Jika tidak, maka negara tidak akan mendapatkan keuntungan untuk membayar bahan baku.
Namun peneliti menyebut meski sudah lebih banyak mendaur ulang dari yang diperkirakan, banyak sampah plastik yang kemungkinan masih dibakar atau ditimbun sehingga mencemari lingkungan.
Baca juga:
Dalam studi ini, peneliti meneliti arus perdagangan sampah plastik dari tahun 2013 hingga 2022.
Di tengah periode itu, terjadi sesuatu yang mengubah perdagangan sampah plastik secara signifikan yaitu larangan perdagangan sampah plastik di Tiongkok.
Hingga tahun 2018, sebagian besar sampah plastik dikirim ke sana. Namun kebanyakan berupa sampah kotor dan tidak dipilah yang sulit didaur ulang. Hal ini kemudian membuat Tiongkok melarang semua impor plastik, serta kertas dan limbah padat lainnya.
Perdagangan kemudian beralih ke Turki dan negara-negara Asia Tenggara.
Di samping karena peralihan tersebut, ada juga peningkatan perjanjian internasional, seperti amandemen Konvensi Basel pada tahun 2021, yang mensyaratkan pembersihan dan pemilahan limbah yang lebih baik sebelum dapat diekspor.
Hasil penelitian ini tentu saja tidak mengatasi permasalahan limbah plastik. Bagian terpentingnya adalah bagaimana secara global kita berupaya mengurangi penggunaan plastik. Jika pemerintah membatasi produksi maka limbah plastik juga akan berkurang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya