Bahlil menyatakan, salah satu alasan PT Freeport mengajukan relaksasi ekspor ialah karena kerusakan pada fasilitas smelter mereka, khususnya pada bagian produksi asam sulfat. Kerusakan ini berdampak pada proses produksi smelter secara keseluruhan.
"Smelternya sudah selesai, tetapi yang terbakar adalah asam sulfatnya. Jika asam sulfat ini tidak diperbaiki, seluruh proses industri lainnya tidak bisa berjalan. Padahal kerusakannya hanya kurang dari 10 persen dari total smelter, meskipun kecil, tapi cukup fatal," jelas Bahlil.
Di sisi lain, pemerintah telah memberlakukan larangan ekspor konsentrat tembaga mulai Juni 2024.
Namun, larangan itu direlaksasi hingga 31 Desember 2024 melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 10 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 6 Tahun 2024, lalu diberikan kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) karena pembangunan smelter keduanya belum selesai. Jelang berakhirnya relaksasi, PT Freeport mengajukan perpanjangan.
Kendati demikian, pemerintah secara resmi memberlakukan larangan ekspor konsentrat tembaga seperti yang diatur dalam Permendag Nomor 10 Tahun 2024 pada 1 Januari 2025.
Baca juga: Indonesia Baru Mulai Hilirisasi, Butuh Investasi Besar untuk Pendanaan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya