Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Realisasi Pajak Karbon Nyaris Tak Terdengar

Kompas.com - 19/01/2025, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAI pemerhati kehutanan dan lingkungan sejak 2019, saya menulis tiga artikel opini yang telah dimuat Kompas tentang pajak karbon.

Pertama, tulisan yang dimuat dalam Harian Kompas, Selasa (2/11/2021); dengan judul “Pajak Karbon dan PNBP Kehutanan”.

Kedua, tulisan dimuat di Kompas.id (14/01/2022) dengan judul "Era Baru Pajak Karbon”. Ketiga, tulisan dimuat di Kompas.id (28/5/2022) dengan judul “Kontruksi Pajak Karbon Kehutanan”.

Dalam salah satu tulisan tersebut, saya menyebut bahwa pajak karbon merupakan langkah konkret dalam pembangunan ekonomi hijau (green economy).

Alur berpikir seperti ini, logis dan masuk akal karena penyebab terbesar dari adanya emisi karbon di antaranya alih fungsi hutan untuk kepentingan nonkehutanan.

Menurut data terakhir, sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48 persen berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan.

Baca juga: Tak Kunjung Diterapkan, Pajak Karbon Masih Tunggu Regulasi Pemerintah

Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21 persen, kebakaran sebesar 12 persen, limbah pabrik sebesar 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.

Indonesia merupakan tiga besar pemilik hutan tropika basah di dunia setelah negara Brasil dan Republik Demokratik Kongo yang mempunyai saham besar dalam penyerapan emisi karbon dari kawasan hutannya.

Oleh karena itu wajar apabila pemerintah memberikan perhatian serius dan cepat dalam penanganan perubahan iklim dunia ini.

Dasar hukum dari pajak karbon adalah terbitnya Undang-Undang (UU) No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Peraturan Presiden (Perpres) No 98 tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) untuk pencapaian target yang ditetapkan secara nasional (NDC) dan pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK) dalam pembangunan nasional.

Berbagai instrumen dapat diambil untuk mencapai target Nationally Determined contribution (NDC), di antaranya menggunakan instrumen nilai ekonomi karbon (NEK) yang terdiri dari instrumen perdagangan maupun nonperdagangan.

Baca juga: Pajak Karbon Tak Kunjung Diterapkan, Ini Alasan BRIN

Instrumen nonperdagangan di antaranya pengenaan pajak karbon. Pajak karbon dikenakan dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian NDC Indonesia.

NDC atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional adalah komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).

Pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

Dalam salah satu PP tersebut turut mengatur hak dan kewajiban pajak karbon. Jadi secara regulasi, pengaturan mengenai pajak karbon telah siap.

Subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon atau melakukan aktivitas menghasilkan emisi karbon.

Tarif pajak karbon ditetapkan paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Nantinya penerimaan dari pajak karbon yang dipungut oleh pemerintah dapat dialokasikan untuk mengendalikan perubahan iklim.

Dalam penjelasan UU No 7/2021, pasal 13 ayat (3) disebutkan bahwa tahun 2022 sampai dengan 2024, diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara.

Sedangkan tahun 2025 dan seterusnya, implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala.

Baca juga: Pemerintah Masih Godok Aturan Pajak Karbon

Jadi dengan kata lain, pemerintah akan mengimplementasikan pajak karbon secara penuh, baik melalui pembelian barang maupun aktivitas yang menghasilkan emisi karbon mulai tahun 2025.

Sayangnya sejak adanya regulasi pajak karbon, pemerintah telah berulangkali menunda pelaksanaan pajak karbon.

Penundaan pajak karbon dimulai dari 1 April 2022, 1 Juli 2022, hingga pengumuman Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto tentang penundaan pajak karbon hingga tahun 2025 dalam pembukaan Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2022, Jakarta, Kamis (13/10/2022).

Padahal pajak karbon sangat penting dan sentral bagi Indonesia digunakan untuk membiayai kegiatan pengendalian dan pengurangan emisi karbon/gas rumah kaca (GRK).

Pengalaman negara lain yang telah menerapkan pajak karbon terlebih dahulu, perlu dipelajari dan dikaji oleh pemerintah Indonesia sebagai bahan komparasi tentang pajak karbon.

Di Korea Selatan, misalnya, pajak karbon yang dikenakan selama satu tahun pada industri dengan kapasitas dan jenis tertentu sebenarnya lebih ditujukan untuk dapat mengumpulkan data dan informasi emisi pada industri-industri tersebut, untuk kemudian diimplementasikan perdagangan karbon jenis cap and trade.

Pada 2020 lalu, setidaknya tercatat ada tiga negara, yaitu Latvia, Kanada, dan Irlandia yang berhasil melakukan penyesuaian dan menaikkan tarif pajak karbonnya sampai lebih dari 30 persen.

Kanada bahkan berhasil menaikkan tarif pajak karbonnya dari 23,88 dollar AS ke 31,83 dollar AS dengan persetujuan seluruh masyarakat dan sektor bisnis yang terlibat.

Hadi Setiawan, peneliti Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa kebutuhan biaya mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030, mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun.

Dana sebesar itu, sudah tentu tidak dapat mengandalkan APBN kita sekarang yang ruang fiskalnya terbatas.

Oleh karena itu, pajak karbon merupakan bagian dan salah satu solusi untuk membiayai mitigasi perubahan iklim yang mestinya segera diimplementasi di lapangan.

Tahun 2025 telah berjalan hampir satu bulan, sesuai amanat UU mestinya pajak karbon telah dilaksanakan. Namun nampaknya realisasinya nyaris tak terdengar.

Memang sulit bagi pemerintah mengambil keputusan di tengah perekonomian dunia maupun Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Namun, kalau tidak mulai sekarang, terus kapan lagi?

Ingat, pemerintah Prabowo- Gibran mempunyai rencana untuk merehabilitasi dan mereboisasi hutan rusak guna mengendalikan dan menekan emisi karbon.

Lalu, sumber dananya dari mana kalau bukan salah satunya dari pajak karbon?

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau