KOMPAS.com – Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, sejauh ini pemerintah masih terus mematangkan peraturan pajak karbon.
Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah mengantisipasi Mekanisme Penyesuaian Karbon Perbatasan (CBAM) yang akan diterapkan Uni Eropa (EU) mulai 2026.
“Regulasinya akan dilengkapi, salah satunya karena Eropa akan menerapkan CBAM pada 2026,” kata Airlangga, sebagaimana dilansir Antara, Selasa (26/9/2023).
Baca juga: Walhi: Negara Izinkan Industri Lepas Emisi Lewat Perdagangan Karbon
“Tahun 2024 mereka akan sosialisasi, artinya industri kita harus siap untuk menjadi basis energi hijau dan menjadi industri bersih. Dan itu perlu ada investasi,” sambungnya.
Pemberlakuan pajak karbon oleh pemerintah Indonesia dimaksudkan untuk memberikan alternatif kepada dunia usaha dalam upaya mengurangi emisi karbon.
Saat ini, pemerintah telah meluncurkan Bursa Karbon Indonesia pada Selasa. Peluncurannta dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Pajak karbon itu ada dua, satu yang sifatnya sukarela dan satu lagi adalah kewajiban terkait. Yang sukarela tadi baru diluncurkan Bapak Presiden (Jokowi) melalui bursa karbon,” jelas Airlangga.
Baca juga: IKN Dirancang Jadi Kota Pertama dengan Komitmen Penurunan Emisi Karbon
“Sementara pajak karbon itu hanya melengkapi. Jadi kalau tidak diperdagangkan di dalam bursa baru dicarikan melalui pajak karbon,” tambahnya.
Dia mengimbau perusahaan-perusahaan yang industrinya menghasilkan emisi karbon agar berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi di Indonesia, baik melalui bursa maupun pajak karbon.
“Kalau produknya diekspor akan dikenakan pajak karbon di negara lain, daripada dikenakan di negara lain kan mending di dalam negeri,” tuturnya.
Aturan pajak karbon yang tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) bukan pajak atas setiap emisi karbon yang dikeluarkan oleh badan usaha.
Baca juga: Luncurkan Bursa Karbon, Jokowi Sebut Potensial Serap Dana Rp 3.000 Triliun
Badan usaha memiliki dua pilihan bila usahanya mengeluarkan emisi karbon lebih besar dari standar yang telah ditetapkan dalam sektornya. Pilihannya adalah membayar pajak karbon kepada negara atau mencari penukar di pasar karbon.
Di satu sisi, Indoneisa memiliki sumber daya hutan tropis seluas 125 juta hektare, terbesar ketiga di dunia.
Dengan luas hutan sebesar itu, Indonesia berpotensi memimpin pasar karbon yang diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon.
Baca juga: Produk Netral Karbon Dicurigai sebagai Upaya Greenwashing
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya