KOMPAS.com - Indonesia resmi memulai perdagangan karbon internasional pada Senin (20/1/2025) melalui Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon.
Diberitakan Kompas.com sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) mengatakan terdapat 2,48 juta ton karbon dioksida ekuivalen siap diperdagangkan secara global.
Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH/BPLH Ary Sudjianto mengatakan, IDXCarbon akan menjadi tulang punggung transaksi karbon internasional.
Baca juga: Realisasi Pajak Karbon Nyaris Tak Terdengar
"Kita optimis bahwa bersama-sama, kita mampu mengimplementasikan dan menghadapi tantangan perdagangan karbon internasional demi mencapai target NDC (Nationally Determined Contributions) sekaligus memperoleh manfaat ekonomi," kata Ary, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (15/1/2025).
Lantas, bagaimana kondisi dan situasi ihwal permintaan dan penjualan kredit karbon di komunitas internasional?
Pasar internasional memiliki skema perdagangan karbon yang beragam. Ada bertransaksi di bursa karbon sukarela atau membeli sertifikat karbon dari proyek-proyek pengurangan emisi seperti restorasi alam, reforestasi, konservasi, dan lain sebagainya.
Dilansir dari analisis lembaga riset pasar Morgan Stanley Capital International (MSCI), bursa karbon internasional masih terus berkembang.
Selama 2024, sertifikat karbon yang telah di-retired mencapai 180 juta ton karbon dioksida ekuivalen dengan nilai transaksi 1,4 miliar dollar AS.
Untuk diketahui, istilah retired dalam perdagangan karbon artinya karbon tersebut telah menjadi hak milik oleh sebuah entitas dan secara permanen dihapus dari sirkulasi mekanisme jual beli karbon.
Baca juga: Karbon Indonesia Dijual ke Luar Negeri, Pengamat: Pembeli Cari yang Berkualitas
Sertifikat karbon yang telah retired tidak dapat digunakan kembali atau dijual kembali ke pihak lain.p Ini berarti, pengurangan emisi dari sertifikat karbon hanya dihitung sekali saja.
Penjualan sertifikat karbon yang retired pada 2024 sama dengan tahun 2023 yakni 180 juta ton karbon dioksida ekuivalen. Perbedaannya hanya terletak pada sektor yang dibeli saja.
Di sisi lain, penjualan sertifikat karbon pada 2024 dan 2023 sedikit menurun bila dibandingkan dua tahun berturut-turut sebelumnya.
Pada 2021, karbon kredit yang retired tercatat 182 juta ton karbon ekuivalen. Pada 2022, sertifikat karbon yang retired mencapai 185 juta ton karbon dioksida ekuivalen.
Dari sekian banyak sektor yang menerbitkan sertifikat karbon, ada tiga sektor yang paling banyak diminati oleh pasar.
Ketiga sektor tersebut adalah restorasi alam, energi terbarukan, dan efisiensi energi.
Itu artinya, mayoritas pembeli melirik karbon kredit dari sektor tersebut sebagai "pengimbang" atau "penebus" emisi yang telah mereka hasilkan.
Baca juga: Shell dan Microsoft Masuk 10 Pembeli Kredit Karbon Terbesar 2024
Menurut analisis MSCI, sepanjang 2024 terdapat 6.200 proyek karbon yang terdaftar di 12 registri kredit karbon internasional terbesar.
Proyek-proyek tersebut menghasilkan 305 juta ton karbon dioksida sepanjang 2024.
Di sisi lain, sejak Perjanjian Paris disepakati pada 2015, kini sudah ada 2,1 miliar juta ton karbon dioksida yang "disertifikatkan".
MSCI menilai, dengan transaksi yang masih berkisar 100 jutaan kredit, masih banyak potensi sertifikat karbon yang belum dimanfaatkan oleh pasar internasional.
Baca juga: Perdagangan Karbon Internasional di RI Sempat Terkendala Peraturan Ini
Di satu sisi, harga sertifikat karbon di bursa cenderung fluktuatif. Saat ini, harga rata-rata kredit karbon hingga akhir 2024 sekitar 4,8 dollar AS per ton karbon dioksida ekuivalen.
Harga tersebut menurun sekitar 20 persen bila dibandingkan rata-rata tahun 2023.
Meski demikian, MSCI memprediksi, bursa karbon global dapat naik nilainya setidaknya hampir tujuh kali lipat dari saat ini atau senilai 7 miliar dollar AS atau bahkan 30 kali lipat mencapai 35 miliar dollar AS pada 2030 karena transaksi dan harga yang naik.
Di masa depan yang lebih jauh lagi, MSCI memprediksi nilai transaksi bursa karbon global bisa mencapai 45 miliar dollar AS hingga 250 miliar dollar AS pada 2050.
Pertumbuhan yang tinggi tersebut tak lepas karena perusahaan akan menghadapi tenggat net zero emission (NZE) yang sudah ditetapkan.
Beberapa faktor seperti kebutuhan perusahaan yang mendesak yang permintaan akan kredit karbon berkualitas tinggi juga akan mengerek harga sekaligus nilai transaksi karbon.
Baca juga: 2,48 Juta Karbon dari Indonesia Dijual ke Luar Negeri Mulai 20 Januari
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya