KOMPAS.com - Komisi Uni Eropa (UE) mengusulkan pelarangan penggunaan PFAS atau sering disebut "bahan kimia abadi" dalam produk konsumen.
Usulan ini menargetkan pelarangan dalam barang-barang seperti kosmetik, wajan anti lengket, dan penggunaan di tingkat industri.
Perfluoroalkyl and Polyfluoroalkyl Substances (PFAS) merupakan kelompok yang terdiri dari lebih dari 10.000 bahan kimia buatan manusia yang bertahan lama di lingkungan.
PFAS telah beredar dalam produk konsumen sejak tahun 1950-an, mulai dari kemasan makanan, peralatan memasak, pakaian, karpet anti noda, dan busa pemadam kebakaran.
Jika tidak terurai secara alami, bahan itu akan terakumulasi dan menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan.
Beberapa penelitian menghubungkan paparan bahan tersebut dengan kerusakan hati, gangguan kekebalan dan hormon, kanker, serta penyakit lainnya.
Baca juga: Berdampak Buruk ke Lingkungan, Pagar Laut Tangerang Harus Segera Dibongkar
Mengutip ESG News, Rabu (22/1/2025) Komisaris Lingkungan UE Jessika Roswall mengonfirmasi bahwa larangan tersebut terutama akan difokuskan pada produk sehari-hari.
Akan tetapi, ia mengakui bahwa penggunaan industri yang "penting", seperti inhaler asma dan semikonduktor untuk kendaraan listrik, kemungkinan akan mendapatkan pengecualian.
Pengecualian ini masih dalam pembahasan, dengan kemungkinan pembatasan pada metode pembuangan.
Badan Kimia Eropa sendiri telah menerima ribuan permintaan pengecualian dari pemangku kepentingan industri, khususnya mereka yang bergerak di sektor otomotif, energi bersih, dan plastik.
Termasuk tuntutan untuk mempertahankan penggunaan fluoropolymer, sejenis PFAS yang digunakan dalam produk seperti pakaian tahan air dan panel surya.
Habiskan Biaya
Melansir Sustainability Magazine, data dari Forever Lobbying Project (FLP) menunjukkan bahwa pembersihan polusi 'bahan kimia abadi' di Inggris dan Eropa bisa menelan biaya hingga 2 triliun dollar AS selama periode 20 tahun.
Baca juga: Industri Pakaian Sumber Polusi Plastik yang Terabaikan
Data tersebut juga memperkirakan tagihan tahunan akan mencapai hampir 103,3 miliar dollar AS per tahun dengan 12 miliar dollar AS hanya berasal dari Inggris saja.
Sementara itu, survei YouGov menemukan lebih dari tiga perempat responden mengatakan penggunaan PFAS yang diketahui beracun harus segera dihentikan atau dikenakan kontrol yang lebih efektif.
Hal ini memunculkan seruan agar perlindungan publik dari PFAS yang beracun diatur dalam undang-undang tindakan khusus air.
"RUU ini merupakan langkah awal yang penting, dan kami juga mendesak pemerintah dan industri untuk membangun perubahan ini dengan membuat inventaris nasional PFAS dan memberlakukan batasan yang lebih ketat pada pembuangan limbah industri,” ungkap Stephanie Metzger, Penasihat Kebijakan Kimia Royal Society of Chemistry (RSC).
Bagaimana dengan Indonesia?
International Pollutants Elimination Network (IPEN) sempat melakukan riset di Indonesia untuk mengetahui penggunaan bahan PFAS pada barang-barang yang dipasarkan.
Jenis barang yang mengandung PFAS diantaranya pakaian tahan air, hijab tahan air, kertas bungkus burger, kotak makanan, hingga kantong popcorn.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bersama dengan AS, tidak ada perbedaan antara kantong popcorn yang beredar di Indonesia dan AS.
IPEN merekomendasikan pelarangan penggunaan PFAS, terutama karena Indonesia telah menandatangani Konvensi Stockholm yang menuntut penghapusan global bahan itu.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diminta melarang impor bahan yang mengandung PFAS, seperti kantong popcorn.
Baca juga: Ada Potensi Racun di Lubang Tambang Timah, Polisi Minta Akademisi Meneliti
sumber https://esgnews.com/eu-proposes-ban-on-forever-chemicals-in-consumer-products-with-limited-exemptions/
https://sustainabilitymag.com/articles/taking-the-forever-out-of-forever-chemicals-a-1-6t-cleanup
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya