KOMPAS.com - Lembaga think tank Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak pemerintah menerjemahkan komitmen transisi energi melalui tindakan nyata.
IESR menilai, menjelang 100 hari masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka, pernyataan dan janji untuk mencapai kemandirian energi dan mencapai nol emisi belum tercermin dari rencana dan tindakan yang nyata.
IESR meminta pemerintah mengeluarkan rencana dan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan serta meninggalkan energi fosil.
Baca juga: BRICS Jadi Jalur Negosiasi Tambahan Transisi Energi RI
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, transisi energi merupakan proses yang panjang.
Akan tetapi, keputusannya harus dibuat sekarang sehingga memberi waktu untuk penyusunan perencanaan energi yang terintegrasi dan implementasi yang terukur.
Keberanian presiden dan wapres untuk melawan status quo, kepentingan yang mempertahankan energi fosil, serta berbagai alasan untuk mengerdilkan upaya transisi energi disebut IESR menjadi syarat agar meraih ketahanan dan swasembada energi yang selaras dengan Asta Cita.
Sesuai ambisi presiden menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dpada 2040, kajian IESR menemukan pengakhiran operasional PLTU batubara secara dini dapat diterapkan pada 105 unit PLTU dengan total kapasitas 25 gigawatt (GW).
Di samping itu, komitmen presiden untuk memensiunkan PLTU batu bara pada 2040-2045 harusnya disertai juga dengan penghentian pembangunan PLTU captive atau PLTU untuk kebutuhan industri sendiri.
Baca juga: Bandara Heathrow SIapkan 86 Juta Poundsterling untuk Transisi ke Avtur Berkelanjutan
"Tidak hanya itu, upaya mempertahankan penggunaan batu bara yang kotor dengan menggunakan teknologi CCS/CCUS (penangkap dan penyimpanan karbon) harus dibandingkan efektivitas hasil dan biayanya dengan pilihan pemanfaatan energi terbarukan yang lebih bersih, murah, dan pasti memangkas emisi,” kata Fabby dikutip dari siaran pers, Rabu (22/1/2025).
Fabby menilai, teknologi CCS/CCUS selama ini masih belum terbukti efektivitasnya dalam menurunkan emisi.
Dia menambahkan, pemerintah perlu serius mencermati tren pasar global yang menuntut produk barang maupun jasa yang rendah emisi, sehingga menuntut listrik yang bersih dan rendah karbon.
Kemampuan negara menyediakan listrik rendah karbon akan menentukan daya tarik investasi sebuah negara.
Lebih jauh, Fabby menekankan pentingnya penyediaan "arena pertarungan" yang adil untuk pemanfaatan energi terbarukan dan bahan bakar fosil. Caranya dengan mengurangi subsidi energi fosil secara bertahap.
Baca juga: RI Gabung BRICS, Saatnya Negara Berkembang Atur Sendiri Agenda Transisi Energi
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada 2024 pemerintah menghabiskan anggaran Rp 386,9 triliun untuk subsidi dan kompensasi energi fosil, termasuk bahan bakar minyak (BBM), gas alam yang dicairkan atau LPG, dan listrik.
Sementara, penggunaan energi fosil, termasuk BBM berkualitas rendah, telah meningkatkan beban biaya kesehatan hingga Rp 1,2 triliun pada 2023 untuk wilayah Jakarta saja akibat tingginya polusi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya