KOMPAS.com - Uni Eropa telah memutuskan melarang penggunaan Bisfenol A (BPA) pada kemasan yang berkontak dengan makanan mulai 20 Januari 2025 dengan masa tenggang hanya 18 bulan.
Pelarangan tersebut menyusul sejumlah studi yang mengungkap bahwa BPA berisiko pada manusia, bisa memicu gangguan hormon, penyakit kardiovaskuler, hingga kanker jika kadar berlebihan.
Indonesia sebenarnya telah menyadari risiko tersebut. Meski tidak langsung melarang, BPOM telah menetapkan aturan pelabelan risiko BPA pada April 2024, dengan masa tenggang hingga 2028.
Sejumlah produk kemasan makanan dengan bahan plastik yang beredar di masyarakat sudah mencatumkan label "BPA Free". Namun, kontroversi masih tetap ada pada satu jenis kemasan, galon guna ulang.
Masalah pada Galon Guna Ulang
Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) melakukan survei antara Oktober dan Desember 2024, melibatkan 495 responden dari lima kota besar: Jakarta, Medan, Bali, Banjarmasin, dan Manado.
KKI juga melakukan investigasi lapangan terhadap 31 obyek usaha, mulai dari distributor hingga depot isi ulang.
Hasil survei mengungkap, sebanyak 60,8 persen responden memahami risiko BPA, tetapi lebih dari 90 persen tetap memilih galon polikarbonat, jenis galon guna ulang yang masih memakai BPA. Alasan utamanya adalah harga murah.
43,4 persen responden tidak mengetahui aturan pelabelan BPA yang ditetapkan oleh BPOM. Namun, setelah diberi informasi, 96 persen mendesak agar aturan pelabelan tersebut segera diterapkan.
Baca juga: BPOM Perlu Percepat Pelabelan BPA pada Air Minum Galon
Sebanyak 25 persen galon yang digunakan melebihi usia pakai dua tahun, melampaui batas aman penggunaan ulang.
Investigasi KKI juga menemukan praktik distribusi yang tidak memenuhi standar keamanan. Banyak galon didistribusikan dengan truk terbuka, terpapar sinar matahari langsung, yang dapat memicu peluruhan BPA ke dalam air. Di depot isi ulang, galon kerap dicuci dengan bahan kimia seperti detergen, memperbesar risiko kontaminasi.
Kurangnya kesadaran risiko konsumen dan praktik distribusi dan penyimpanan galon guna ulang membuat risiko terpapar BPA dalam jumlah besar meningkat.
David ML Tobing, Ketua KKI, menekankan pentingnya edukasi dan akses yang adil terhadap produk air minum yang aman.
"Ini semua demi meningkatkan transparansi dan perlindungan konsumen," ungkapnya.
Dalam survei, ditemukan bahwa galon bebas BPA lebih banyak tersedia di kawasan premium seperti perumahan kelas atas dan apartemen di Jakarta dan Bali.
Sementara itu, galon berbahan polikarbonat lebih umum dijual di daerah pinggiran dan untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Hal itu ironis mengingat semua konsumen seharusnya berhak mendapatkan produk yang aman, tanpa memandang kelas sosial atau lokasi.
Rekomendasi untuk Pemerintah dan Industri
KKI memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan industri untuk memperbaiki kondisi ini.
Pertama, percepat masa tenggang pelabelan BPA dari empat tahun menjadi paling lama dua tahun.
"Mewakili suara konsumen, KKI mendesak pemerintah mempercepat implementasi pelabelan BPA, " katanya.
"Menurut kami, tak perlu menunggu sampai 2028. Toh BPA adalah ancaman nyata bagi kesehatan publik dan pelabelan merupakan bentuk transparansi sekaligus pendidikan terbaik untuk konsumen," imbuhnya dalam paparan pada Kamis (23/1/2025).
Kemudian, edukasi publik secara masif tentang risiko BPA, cara aman menggunakan galon, dan regulasi yang berlaku.
Selanjutnya, perlu pengetatan pengawasan pasca produksi, terutama pada distribusi dan penggunaan ulang galon.
Terakhir, dorong penggunaan galon bebas BPA secara merata di seluruh lapisan masyarakat.
Pelabelan risiko BPA, menurut KKI, adalah langkah kecil dengan dampak besar. Bukan hanya tentang memberikan informasi kepada konsumen, tetapi juga tentang membangun kesadaran untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Baca juga: Apakah Bromat dalam Air Minum Dalam Kemasan Lebih Berbahaya dari BPA?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya