Oleh: Khalid Walid Djamaludin*
KOMPAS.com - Indonesia menghadapi tantangan besar dalam upaya meredam laju perubahan iklim. Meskipun telah menandatangani Perjanjian Paris, komitmen pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim tampaknya masih jauh dari harapan.
Dalam Indeks Kinerja Perubahan Iklim 2025, Indonesia berada di peringkat 42 dari 67 negara. Skor Indonesia tergolong rendah dalam hal pengurangan emisi gas rumah kaca, penggunaan energi, dan kebijakan iklim.
Padahal, dampak perubahan iklim sudah meluas dan memengaruhi berbagai sektor, termasuk ekonomi, kesehatan, lingkungan, dan keanekaragaman hayati. Indonesia bahkan teridentifikasi sebagai salah satu negara Asia yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Di tengah lambannya aksi pemerintah, berbagai gerakan sosial lingkungan bermunculan, tak terkecuali kelompok-kelompok Islam. Studi kualitatif yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2024) menunjukkan, dalam lima dekade terakhir, gerakan Islam hijau (green Islam) muncul sebagai salah satu respons terhadap masalah ekologi dan perubahan iklim di Indonesia. ‘Masjid hijau’ (green mosque) atau eco-masjid merupakan salah satu elemen penting dalam gerakan tersebut.
Inisiatif ini memiliki potensi besar dalam menggerakkan aksi iklim. Sebab, masjid bukan hanya tempat ibadah, tapi juga pusat komunitas muslim. Perubahan yang dimulai dari masjid bisa dengan cepat menyebar ke masyarakat, bahkan memengaruhi kebijakan.
Sayangnya, perkembangan inisiatif ‘masjid hijau’ masih sangat terbatas karena terganjal sejumlah tantangan seperti minimnya kesadaran umat, keterbatasan infrastruktur dan biaya serta kurangnya dukungan kebijakan.
Apa itu konsep Islam hijau dan masjid hijau?
Islam hijau adalah gerakan berbasis nilai-nilai Islam yang menekankan konservasi lingkungan dan keberlanjutan. Gerakan ini menggunakan prinsip Islam seperti khalifah fil ard (manusia sebagai khalifah di muka bumi) dan islah (perbaikan lingkungan) untuk mendorong kesadaran ekologi.
Masjid berperan penting dalam menyebarkan nilai-nilai keberlanjutan lingkungan tersebut. Perwujudannya bisa lewat aspek fisik melalui desain arsitektur dan infrastruktur yang ramah lingkungan, maupun aspek sosial melalui kegiatan sosial-keagamaan.
Ajaran ini sudah ada sejak era Nabi Muhammad SAW saat masjid menjadi pusat informasi dan pengembangan masyarakat tak hanya seputar ritual ibadah, tetapi juga isu politik, sosial, dan budaya.
Di Indonesia, inisiatif ‘masjid hijau’ sempat disambut pemerintah dengan rencana menyiapkan panduan pembentukan komunitas eco-masjid untuk membangun masjid berwawasan lingkungan. Panduan ini di antaranya akan mengatur soal penanaman pohon di sekeliling masjid, pengaturan ulang penggunaan air wudu, pengelolaan sampah organik di lingkungan masjid, dan penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya.
Baca juga: PLN Indonesia Power Berhasil Uji Coba Campuran Amonia Hijau di PLTU Labuan
Kendati masih sebatas menyentuh aspek fisik, rencana ini merupakan langkah yang sangat baik. Sayangnya, sejak digagas pada 2022, inisiatif ini masih sebatas wacana.
Tantangan implementasi masjid hijau
Sejumlah riset menunjukkan ada beberapa tantangan besar dalam inisiasi masjid ramah lingkungan berbasis komunitas di Indonesia, di antaranya:
1. Kurangnya kesadaran dan penerimaan sosial
Survei PPIM UIN Jakarta (2024) menunjukkan mayoritas dari total 3.045 responden muslim belum mengenal gerakan Islam hijau.
Lebih dari 50% responden menolak konsep seperti pembatasan air wudu, penggunaan air wudu daur ulang, atau penggunaan zakat untuk mitigasi iklim. Selain itu, mayoritas juga tidak sepakat dengan fatwa haram kegiatan penebangan pohon di hutan atau penambangan atau membuang sampah plastik sembarangan.
Bahkan, lebih dari setengah responden masih mendukung praktik yang berpotensi merusak lingkungan, seperti kepemilikan pesantren atas tambang dan perkebunan sawit dengan alasan ekonomi.
2. Keterbatasan infrastruktur dan biaya
Tantangan kedua adalah keterbatasan infrastruktur dan biaya. Penggunaan infrastruktur energi terbarukan memerlukan biaya awal yang tinggi, sehingga implementasi ‘masjid hijau’ membutuhkan investasi besar dan perencanaan keuangan matang.
Biaya instalasi pembangkit listrik tenaga surya atap atau PLTS tipe off-grid saja misalnya, memakan biaya sekitar Rp12 juta. Alhasil, jumlah masjid yang memanfaatkan teknologi ramah lingkungan ini masih sangat terbatas.
3. Kurangnya dukungan regulasi dan pemantauan program
Sampai saat ini, belum ada regulasi resmi dari Kementerian Agama soal kewajiban penerapan prinsip eco-masjid. Kementerian Agama menyebut perencanaan regulasi sudah dimulai sejak 2022, tapi sampai sekarang belum terlihat hilal-nya.
Sementara itu, studi lapangan yang dilakukan PPIM UIN Jakarta (belum dipublikasi) menunjukkan program eco-pesantren yang pernah diluncurkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bersama beberapa yayasan pada 2011, gagal berlanjut akibat lemahnya pemantauan dan evaluasi. Pesantren di Aceh yang dulu menjadi pelopor pelaksanaan eco-pesantren, kini juga sudah terhenti sepenuhnya.
Mengapa aksi lingkungan harus dimulai dari masjid?
Masjid di Indonesia berjumlah hampir 300 ribu dengan populasi muslim sebanyak 242 juta orang dari 281 juta penduduk Indonesia.
Bayangkan jika muslim memiliki kesadaran akan isu perubahan iklim dan prinsip ‘masjid hijau’ diterapkan secara luas—misalnya melalui energi terbarukan, efisiensi air, dan edukasi lingkungan. Dampak kolektifnya akan sangat besar. Masjid dan kaum muslim bisa menjadi motor agen perubahan dalam gerakan lingkungan.
Untuk itu, program ‘masjid hijau’ ini perlu digarap dan didukung melalui pendekatan pentahelix, yang melibatkan pemerintah (sebagai regulator), sektor swasta (sebagai penyedia), akademisi (sebagai perancang), masyarakat (sebagai akselerator), dan media (sebagai penyebarluas) dalam mendukung suksesnya masjid berwawasan lingkungan.
Tidak hanya itu, lembaga-lembaga filantropi Islam yang mengelola instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf) juga perlu digandeng dalam inisiatif ini. Sebab, salah satu hambatan terbesar dalam program ‘masjid hijau’ ini adalah masalah pendanaan.
Penelitian PPIM UIN Jakarta mengenai Gerakan green Islam pada 2024 mengidentifikasi beberapa praktik baik eco-masjid di Indonesia yang bisa dicontoh, seperti: program hibah 3.000 pohon untuk masjid oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI), edukasi ulama perempuan dan kampanye praktik Islam hijau melalui ceramah-ceramah di masjid oleh Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) pada 2022, hingga penerapan panel surya dan sistem pengelolaan air ramah lingkungan di Masjid Istiqlal sejak 2019.
Salah satu tantangan aksi iklim adalah asumsi bahwa perubahan iklim merupakan isu elitis. Jika dibingkai dalam narasi agama yang dekat dengan kehidupan umat, isu ini mungkin akan lebih mudah dimengerti dan diterima. Dengan demikian, akan terwujud pemahaman dan kesadaran untuk mengubah gaya hidup secara alami.
Sejatinya, menjaga lingkungan bukan sekadar kepentingan ekologis, melainkan bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral seluruh masyarakat, apa pun keyakinannya.
Baca juga: Tunjukkan Kemajuan, Instrumen Pembiayaan Hijau Capai Rp 52 T pada 2024
*Antropolog di University of Latvia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya