BERITA headline harian Kompas pada Selasa (4/3/2025), berjudul “Alih Fungsi Lahan Picu Banjir Bandang di Puncak", sangat mengejutkan bagi saya sebagai pengamat kehutanan dan lingkungan. Banjir bandang terjadi di daerah hulu (upperland).
Banjir bandang biasa terjadi di daerah hilir (lowland) dalam suatu ekosistem daerah aliran sungai (DAS) yang mengampu keseimbangan dan neraca air antara hulu dan hilir, atau setidaknya terjadi di bagian tengah (middleland) DAS.
Sudah berulangkali saya tulis tentang banjir bandang (debris flow), baik di harian Kompas maupun di Kolom Kompas.com.
Di harian Kompas, saya menulis “Banjir Bandang Kota Manado” (Selasa, 14/02/2023), “Banjir Bandang Ternate” (Selasa, 10/09/2024), dan “Banjir Bandang di Sukabumi dan Madiun” (Kamis, 12 /12/2024).
Semua kasus banjir bandang tersebut terjadi di daerah hilir DAS (Kota manado, Kota Ternate, Kota Sukabumi, dan Kota Manado).
Baca juga: Banjir Terjang Bogor, Dedi Mulyadi: Saya Minta PTPN Hentikan Alih Fungsi Lahan di Puncak!
Secara teoritis, banjir bandang ketika terjadi karena di daerah hulu, maka telah terjadi alih fungsi lahan hutan/tutupan hutan (forest coverage) secara besar-besaran dan masif, menghilangkan fungsi ekologis daerah hulu sebagai tangkapan air hujan (catchment area) dan penyimpan air hujan.
Kemampuan menyimpan air hujan yang mendekati nol persen, dalam ilmu hidrologi disebut sub surface run off 0 persen dan surface run off 100 persen.
Dengan kondisi seperti itu, apabila terjadi hujan di daerah hulu, air hujan akan meluncur langsung ke permukaan tanah dan masuk kesungai dengan kecepatan tinggi menuju daerah hilir.
Apabila di hulu terjadi hujan dengan intensitas curah hujan tinggi, kecepatan air yang meluncur kesungai dan ke hilir akan meningkat.
Apabila di daerah hilir tidak terjadi hujan sama sekali, air bah dan banjir bandang akan menjadi malapetaka di hilir.
Kembali ke banjir bandang di Puncak Bogor. Mari kita lihat DAS Ciliwung hulu seluas 14.860 ha.
Secara administratif, DAS Ciliwung hulu mencakup 30 desa di Kabupaten Bogor, yaitu 2 desa (Kecamatan Sukaraja), 7 desa (Kecamatan Ciawi), 10 desa (Kecamatan Cisarua), 11 desa (Kecamatan Megamendung), dan 1 desa di Kecamatan Kota Bogor Timur.
Baca juga: Vietnam Bergerak Lebih Cepat (Bagian I)
DAS Ciliwung hulu seluas 14.860 ha terdiri dari 6 sub-DAS, yaitu:
Sebaran topografi DAS Ciliwung hulu didominasi oleh datar (32,95 persen), bergelombang (25,19 persen), sangat curam (16,12 persen), curam (13,14 persen), landai (12,60 persen).
Berdasarkan sistem klasifikasi Smith dan Ferguson yang didasarkan pada intensitas curah hujan, yaitu bulan basah (>200 mm) dan bulan kering (<100 mm) adalah termasuk Tipe Iklim A.
Berdasarkan debit air Sungai Ciliwung tahun 1989 -2009, rata rata rasio debit air maks dan debit air min sebesar 151,64. Q maks/Q min tertinggi dicapai pada tahun 1998, yaitu sebesar 253,22. Sedangkan Q maks/Q min terendah pada tahun 2008, yaitu sebesar 11,59.
Sebagai daerah tangkapan air yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekologis bagi daerah di bawahnya (daerah tengah dan hilir), daerah hulu DAS Ciliwung telah mengalami degradasi dan alih fungsi lahan yang sangat masif terutama peruntukan kawasan hutan maupun penutupan hutannya (forest coverage).
Tahun 1981, kawasan hutan hulu DAS Ciliwung masih berkisar 29,96 persen, menyusut menjadi 21,07 persen pada 1990. Data terbaru luas kawasan hutannya kini tinggal 8,9 persen saja.
Baca juga: Adu Mulut Trump Vs Zelensky dan Kartu Truf Mineral
Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, hulu Ciliwung memang terus-menerus dieksploitasi. Pada 2009, ada 879,81 ha hutan lindung justru menjadi perkebunan; 337,61 ha hutan konservasi juga menjadi perkebunan; 322,37 ha hutan lindung menjadi tegalan; dan 53,67 ha hutan konservasi berubah jadi tegalan.
Deforestasi di Puncak, kawasan Gunung Pangrango, menurut Forest Watch Indonesia, telah mencapai 66 kali luas Kebun Raya Bogor.
Jadi banjir bandang di Puncak Bogor yang menimpa warga di Kampung Pensiunan, Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung yang masuk DAS Ciliwung hulu saat ini merupakan peringatan keras bagi warga yang bermukim di sekitar daerah hulu.
Warga jangan menutup akses air hujan berinfiltasi masuk ke dalam tanah secara keseluruhan dengan bangunan beton/cor semen jalan atau selokan khususnya daerah-daerah yang berpemikiman padat penduduk sehingga menghambat air masuk ke sungai Ciliwung melalui subsurface run off.
Bila apa yang disinyalir oleh Hidayat Pawitan, ahli hidrologi IPB University, koefoisien limpasan air permukaan di Puncak sudah mencapai 90 persen benar, maka wajar apabila banjir bandang terjadi di Kecamatan Cisarua maupun Kecamatan Megamendung.
Akibat masifnya alih fungsi lahan hutan/tutupan hutan di kedua Kecamatan tersebut (Cisarua dan Megamendung) yang mempunyai luas 4.600 ha, maka hampir dipastikan bahwa dari luas 4.600 ha tersebut, hanya 10 persen yang mempunyai tutupan hutan dengan baik.
Sisanya 4.120 ha wilayah tersebut tidak mempunyai tutupan hutan (non forested) alias daerah terbuka sehingga surafe runn off dapat mencapai 90 persen.
Wajar banjir bandang terjadi secara lokal di daerah hulu tanpa harus menunggu di daerah DAS Ciliwung bagian tengah apalagi DAS Ciliwung di hilir.
Perlu digaris bawahi bahwa alih fungsi lahan hutan/tutupan hutan yang masif akan mengurangi kemampuan infiltrasi air hujan masuk kedalam tanah secara signifikan.
Meskipun kebun teh juga mempunyai fungsi perlindungan terhadap kemampuan menyerap air (Menurut Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi lebih dari 1000 ha perkebunan teh di Puncak telah beralih fungsi), namun urusan kemampuan menyerap air kedalam tanah hanya kawasan hutan lindung dan cagar alam yang sangat efektif menyimpan air.
Penelitian menyebutkan bahwa hutan dengan pohon berdaun jarum mampu membuat 60 persen air hujan terserap tanah.
Baca juga: Banjir Jakarta Rendam 105 RT, Pemprov Klaim Pompa Air Berfungsi Normal
Sementara, hutan dengan pohon berdaun lebar mampu menyerap 80 persen air hujan terserap tanah.
Makin rapat pohon dan makin berlapis-lapis strata tajuknya, maka makin tinggi pula air hujan yang terserap kedalam tanah, bahkan bisa mendekati 100 persen air hujan terserap tanah.
Sekarang pilihannya adalah, daerah Cisarua dan Megamendung dikembalikan fungsi tutupan hutannya dengan penanaman vegetasi pohon, khususnya yang berdaun lebar dan cepat tumbuh (fast growing spesies).
Bila tidak, maka siap-siap musibah banjir bandang akan terjadi lagi saat musim hujan yang ekstrem.
Sesungguhnya manusia tidak dapat mengendalikan curah hujan yang ekstrem karena sifatnya tetap.
Namun, manusia mampu mengubah bentang darat dengan menanam sebanyak-banyak vegetasi pohon untuk mengatur jumlah air hujan yang masuk kedalam tanah sebanyak-banyaknya, mendekati 100 persen, agar banjir dan banjir bandang tidak terjadi lagi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya