PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto mengenai rencana ekspansi lahan sawit yang mengabaikan aspek kelestarian hutan telah memicu perdebatan serius di tengah masyarakat.
Pandangan ini mencerminkan dilema klasik dalam pembangunan ekonomi Indonesia: pertumbuhan versus keberlanjutan.
Di satu sisi, kelapa sawit telah menjadi primadona ekspor non-migas yang menjanjikan. Namun di sisi lain, ekspansi yang tidak terkendali mengancam masa depan lingkungan kita.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 241 konflik agraria pada 2023 akibat perluasan sawit, melibatkan 638.188 hektare tanah dan 135.603 keluarga terdampak.
Selain itu, Kajian Auriga mencatat deforestasi langsung oleh sawit mencapai 2.935.906 hektare (2000-2019), sedangkan deforestasi tidak langsung mencapai 158.977 hektare.
Baca juga: Utang SBN, Efisiensi Anggaran, dan Danantara
Tidak dapat dipungkiri bahwa industri kelapa sawit telah memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia.
Pada 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,05 persen, dengan sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, termasuk kelapa sawit, tumbuh sebesar 1,3 persen.
Sektor kelapa sawit menyumbang sekitar 13,5 persen dari total ekspor non-migas Indonesia, dengan nilai ekspor lemak dan minyak nabati (termasuk minyak kelapa sawit) mencapai 28,45 miliar dollar AS pada 2023.
Permintaan global akan produk turunan sawit, dari minyak goreng hingga biofuel terus meningkat, sehingga menawarkan potensi pertumbuhan yang menjanjikan.
Investor, baik domestik maupun asing, terus menunjukkan minat besar untuk berinvestasi di sektor ini, yang pada gilirannya menciptakan lapangan kerja baru, terutama di kawasan pedesaan.
Investasi hilirisasi dalam sektor minyak kelapa sawit mencapai Rp 39,5 triliun pada periode Januari-September 2023, menunjukkan bahwa sektor ini tidak hanya berfokus pada produksi, tetapi juga pada pengolahan yang menciptakan lebih banyak pekerjaan berkualitas.
Namun, ketergantungan berlebihan pada komoditas sawit membawa risiko tersendiri. Fluktuasi harga di pasar global dapat memberikan guncangan serius pada ekonomi nasional.
Lebih dari itu, biaya tersembunyi dari kerusakan lingkungan, seperti kebutuhan reklamasi lahan dan denda akibat pelanggaran lingkungan, dapat menggerus keuntungan jangka panjang industri ini.
Baca juga: Vietnam Bergerak Lebih Cepat (Bagian I)
Dari perspektif makroekonomi, ekspansi sawit memang terlihat sebagai jalan pintas menuju target pertumbuhan ekonomi yang ambisius, pertumbuhan 8 persen.
Sektor ini tidak hanya mendorong pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan dan pelabuhan, tetapi juga menggerakkan industri hilir.
Namun, pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan kelestarian lingkungan adalah pertumbuhan yang rapuh dan tidak berkelanjutan.
Dampak lingkungan dari ekspansi sawit tidak bisa dipandang sebelah mata. Hilangnya hutan tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan emisi karbon dan perubahan iklim sebagai dampak dari pembukaan lahan untuk tanaman sawit.
Penggundulan dan kebakaran hutan yang terjadi di sekitar perkebunan sawit dapat melepaskan karbon ke udara. Setiap hektare lahan yang terbakar dapat melepaskan 427,2 ton karbon.
Masyarakat adat yang telah berabad-abad hidup berdampingan dengan hutan terancam kehilangan sumber penghidupan mereka.
Kisah Orang Rimba yang tersisih dari hutan leluhur mereka adalah salah satu gambaran nyata tentang dampak pembangunan, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam terhadap masyarakat adat di Indonesia.
Orang Rimba, juga dikenal sebagai Suku Anak Dalam, adalah komunitas adat yang tinggal di kawasan hutan Sumatera, terutama di Provinsi Jambi.
Hutan bagi mereka bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga sumber kehidupan dan pusat budaya yang membentuk identitas mereka selama berabad-abad.
Indonesia perlu mengambil langkah bijaksana dengan mengutamakan peningkatan produktivitas lahan sawit yang ada daripada membuka lahan baru.
Baca juga: Meragukan Relasi Positif Makan Bergizi Gratis dan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen
Pendekatan ini dapat dilakukan melalui program intensifikasi pertanian, penerapan teknologi modern, dan peningkatan efisiensi produksi, sehingga hasil panen dapat dimaksimalkan tanpa harus mengorbankan hutan.
Meski pembukaan lahan pada hutan sekunder dapat dipertimbangkan, isu lingkungan sering kali muncul akibat alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit.
Oleh karena itu, menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan menjadi hal yang krusial.
Untuk mendukung keberlanjutan sektor sawit, sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) perlu ditetapkan sebagai standar wajib bagi seluruh pelaku industri, bukan sekadar opsi.
Selain itu, pemerintah harus mendorong inovasi dalam pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi dapat dicapai tanpa bergantung pada perluasan lahan, sekaligus meningkatkan daya saing produk sawit Indonesia di pasar global.
Kita tidak bisa terus berpura-pura bahwa ada dikotomi antara ekonomi dan lingkungan. Keduanya adalah sisi mata uang yang sama dalam pembangunan berkelanjutan.
Ekspansi sawit memang menawarkan keuntungan ekonomi jangka pendek, tetapi tanpa pendekatan yang berkelanjutan, kita berisiko mewariskan krisis lingkungan kepada generasi mendatang.
Sudah saatnya Indonesia membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan dapat berjalan seiring.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya