KOMPAS.com - Indonesia termasuk 12 negara paling optimis menghadapi perubahan iklim. Negara lain yang termasuk antara lain Nigeria, kenya, India, dan Amerika Serikat.
Hal itu terungkap dari riset pada 30.000 responden lewat survei online yang dilakukan tim peneliti dari Aarhus University di Denmark dan International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) di Austria di 30 negara antara Agustus hingga Desember 2022.
Dalam analisisnya, para peneliti memetakan lima emosi utama terkait iklim — ketakutan, harapan, kemarahan, kesedihan, dan kekhawatiran — di berbagai negara.
Hasil riset yang dipublikasikan di jurnal Risk Analysis menunjukkan perbedaan signifikan antar wilayah.
Beberapa temuan utama dari studi ini meliputi:
Salah satu tujuan utama studi ini adalah meneliti hubungan antara emosi iklim dengan dukungan terhadap teknologi intervensi iklim, termasuk modifikasi radiasi matahari (solar radiation modification / SRM) dan penghilangan karbon dioksida (carbon dioxide removal / CDR).
Baca juga: Perubahan Iklim Berpeluang Jadi Cuan untuk PLN, Kok Bisa?
“Selain mitigasi dan adaptasi, intervensi iklim semakin banyak dibahas karena meningkatnya bukti bencana terkait iklim dan lambatnya pengurangan emisi,” kata Chad M. Baum, penulis utama sekaligus Asisten Profesor di Departemen Pengembangan Bisnis dan Teknologi, Aarhus University, Denmark.
Baum dan timnya meneliti hubungan statistik antara lima emosi iklim dan dukungan terhadap 10 teknologi intervensi iklim, termasuk afforestation, penangkapan karbon langsung dari udara (direct air capture), dan injeksi aerosol stratosfer.
Hasilnya menunjukkan bahwa harapan — yang paling kuat diekspresikan oleh responden dari negara-negara Global South — merupakan faktor utama yang mendorong dukungan terhadap intervensi iklim, terutama pendekatan SRM dan teknologi CDR inovatif seperti direct air capture. Ketakutan juga berhubungan positif dengan dukungan terhadap teknologi ini, meskipun dampaknya lebih kecil dibandingkan harapan atau kekhawatiran.
“Bersama dengan harapan dan kekhawatiran, studi ini menunjukkan bahwa ketakutan — serta keinginan untuk perlindungan — berhubungan positif dengan dukungan terhadap bentuk intervensi iklim yang lebih kontroversial,” jelas Baum seperti disebarkan lewat Eurekalert, Jumat (15/3/2025).
Ia menambahkan, “Hasil kami mengilustrasikan perbedaan emosi iklim di tingkat global serta, yang lebih penting, konsekuensi dari mengabaikan perspektif beragam negara Global South dalam menghadapi perubahan iklim dan solusi yang diusulkan.”
Baca juga: Ekonomi Pisang Capai 11 Miliar dollar AS Per Tahun, Perubahan Iklim Mengancamnya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya