Oleh Munajat Narsaputra*
KOMPAS.com - Banjir sering datang tiba-tiba di berbagai daerah di Indonesia. Baru-baru ini, bah dengan ketinggian mencapai tiga meter menggenangi permukiman warga hingga pusat perbelanjaan di Bekasi, Jawa Barat dan meluas ke berbagai wilayah Jabodetabek.
Bulan lalu, banjir juga melanda Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Air tak surut-surut selama lima hari. Area rawa sampai perumahan elite di daerah tinggi yang diklaim bebas banjir pun ikut terendam.
Mayoritas wilayah gagap menghadapi banjir. Sistem prediksi banjir yang kurang akurat membuat langkah mitigasi selalu telat dilakukan. Imbasnya, “wilayah langganan banjir” terus menjadi korban, kerugian yang dialami masyarakat pun semakin besar.
Akurasi prediksi banjir dan strategi mitigasi bencana harus segera diperkuat agar kita tidak selalu waswas setiap kali musim hujan datang.
Tren banjir kian mengkhawatirkan
Dalam 20 tahun terakhir, tren banjir di Indonesia terus naik. Pada awal 2000-an, proporsi banjir masih sekitar 20–30 persen dari total bencana setiap tahun.
Angka ini kemudian meroket menjadi 54,5 persen pada 2012, lalu naik menjadi 55,1 persen pada 2024. Artinya, lebih dari separuh bencana di Indonesia dalam dua dekade terakhir adalah banjir.
Penyebab utama luapan banjir, yaitu kombinasi curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim, buruknya sistem drainase, serta perubahan fungsi lahan yang semakin tak terkendali.
Area-area resapan dipenuhi beton dan aspal. Hujan deras yang mestinya bisa terserap tanah, kini mengalir mencari tempat baru—dan sayangnya, tempat itu adalah rumah-rumah warga.
Meski kejadian banjir makin sering, sistem prediksi dan mitigasi kita masih tertinggal. Dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), serta Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) hanya mengandalkan data dari InaRISK Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang bersifat kualitatif.
Data ini hanya memberi gambaran umum mengenai tingkat bahaya banjir (rendah, sedang, tinggi), tanpa memberikan detail, seperti luas area terdampak, kedalaman genangan, serta pola dan kecepatan aliran air.
Kajian Risiko Bencana (KRB) yang digunakan untuk memetakan risiko banjir juga masih berbasis pada kondisi morfologi (bentuk dan karakteristik lahan), tanpa mempertimbangkan dampak dari perubahan fungsi lahan dan perubahan iklim. Ibarat membaca peta, tanpa melihat kondisi jalan terkini, sistem ini membuat langkah kita selalu tertinggal dalam mengatasi banjir.
Pendekatan sistem prediksi banjir
Sistem prediksi banjir yang akurat mendapat perhatian serius dalam berbagai studi ilmiah. Berdasarkan basis data jurnal internasional SCOPUS, ada sekitar 472 artikel (1970-2025) yang membahas metode pemetaan dan prediksi banjir.
Baca juga: Banjir Bekasi, Greenpeace Nyatakan Sebabnya adalah Alih Fungsi DAS
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya