Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Miskin Tuding Negara Kaya Mangkir dari Komitmen Iklim

Kompas.com - 07/04/2025, 20:37 WIB
Zintan Prihatini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Negara-negara miskin menuding negara kaya mengkhianati komitmen iklim mereka, dan menyebabkan cuaca ekstrem. Hal tersebut terungkap dalam pertemuan International Maritime Organisation (IMO) yang digelar pekan ini.

Pertemuan dihadiri perwakilan 175 negara untuk menyepakati bahwa semua kapal harus membayar pajak berdasarkan emisi yang dikeluarkan dari kegiatan pelayarannya.

Pajak ini dianggap sebagai sumber pendanaan bagi negara miskin yang mengalami krisis ekonomi akibat cuaca ekstrem.

Duta Besar Kepulauan Marshall, Albon Ishoda, mewakili negara kepulauan di Pasifik serta Karibia menyebutkan negara-negara kaya maupun negara berkembang sedang mundur dari janji-janji mitigasi iklim.

Baca juga: Sektor Asuransi Tak Mampu Tawarkan Perlindungan jika Krisis Iklim Makin Parah

"Mungkin mereka khawatir tentang kedaulatan nasional mereka. Tetapi kami mendasarkan argumen kami (untuk dekarbonisasi dan pajak atas pelayaran) pada dasar ilmiah," kata Ishoda dikutip dari The Guardian, Senin (7/4/2025).

Dia menyatakan dalam kesepakatan IMO di 2023, negara-negara yang hadir memutuskan untuk memangkas emisi pelayaran sebesar 20 persen pad 2030. IMO juga menyepakati pelayaran internasional mencapai target net zero sekitar tahun 2050.

"Kami membutuhkan mereka (negara berekonomi besar) untuk mulai menunjukkan kepemimpinan. Kita semua bisa melihat apa yang benar, biarkan mereka melakukan apa yang benar," ucap Ishoda.

Kendati demikian, China, Brasil, Arab Saudi, dan sekutunya menentang pungutan pajak. Kondisi ini lantas memicu kekhawatiran di antara perwakilan negara miskin dan mereka menjadi pihak yang dirugikan apabila IMO tidak sepakat memberlakukan pajak emisi untuk pelayaran.

Baca juga: Asosiasi Mantan Pemimpin Dunia Desak Kepemimpinan Eropa dalam Aksi Iklim

Menteri Transportasi Tuvalu, Simon Kofe, menuturkan pajak pelayaran berdampak kecil terhadap harga barang bagi kosumen.

"Kekhawatiran tentang dampak pajak terhadap perdagangan dan harga konsumen dapat dimengerti, tetapi itu juga dilebih-lebihkan," ucap Kofe.

IMO memperkirakan, peralihan ke teknologi rendah karbon akan menaikkan biaya pelayaran antara 1-9 persen. Kofe berpandangan, dengan biaya 150 dolar AS per ton karbon, pajak tersebut hanya akan berdampak minimal pada harga.

"(Proposal pajak kami) memastikan bahwa biaya polusi ditanggung oleh pihak yang bertanggung jawab. Dengan meletakkan pajak langsung pada emisi, kami mendukung prinsip keadilan, akuntabilitas, dan keadilan iklim, memastikan tidak ada negara yang tertinggal dalam transisi menuju masa depan yang lebih bersih," papar Kofe.

Baca juga: Dampak Ekonomi Perubahan Iklim, Dunia Bisa Kehilangan 40 Persen GDP

Sementara itu, Arsenio Dominguez, Sekretaris Jenderal IMO, meyakini pertemuan dengan ratusan negara tersebut bakal menghasilkan keputusan yang telah lama dinantikan terkait dekarbonisasi pelayaran.

"Hampir dua tahun yang lalu, negara-negara anggota IMO bersikap tegas dalam komitmen mereka dalam strategi gas rumah kaca IMO 2023 untuk menyetujui langkah-langkah jangka menengah untuk mengurangi emisi dari kapal, termasuk standar bahan bakar global dan mekanisme penetapan harga emisi," ujar Dominguez.

Jika disetujui, kesepakatan IMO akan menjadi langkah pertama yang mengikat bagi seluruh industri global untuk beralih ke bahan bakar rendah karbon.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau