JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Senior The Prakarsa, Setyo Budiantoro, mengatakan bahwa kebijakan perang dagang Amerika Serikat bisa mengancam upaya pembangunan berkelanjutan atau sustainable development global.
Hal ini disampaikannya, merespons keputusan Presiden AS, Donald Trump, yang menaikkan tarif impor kepada negara lain.
Setyo berpandangan, ketika batasan tarif naik maka akan terjadi persaingan dagang yang sangat ketat. Alhasil, industri hanya memikirkan bagaimana memproduksi barang dengan cara paling efisien tanpa memikirkan dampak lingkungan atau keberlanjutannya.
"Sehingga kita akan masuk dalam reset the bottom jadi ke arah dasar. Kita kemudian dipaksa untuk untuk melupakan semua konsekuensi dari produksi dengan harapan supaya harga itu bisa ditekan seminimal mungkin," ungkap Setyo saat dihubungi Kompas.com, Selasa (8/4/2025).
Baca juga: Ekspor Nikel Indonesia Terancam akibat Perang Dagang Trump
"Yang menjadi persoalan, kita akan kembali ke persoalan yang lama membuat produksi yang penting efisien, murah, tidak memikirkan persoalan lain. Sehingga tentu saja akan mengancam sustainable development kalau misalnya paradigma itu dipakai," imbuh dia.
Menurut Setyo, Amerika Serikat bakal merugi apabila tetap menerapkan tarif tinggi untuk barang-barang yang masuk ke negaranya. Dia menyebut, warga Amerika Serikat sendiri menjadi korban lantaran nantinya mendapatkan barang dengan kualitas rendah akibat terjadi inflasi tinggi.
"Mereka akan mendapat barang yang kualitasnya enggak terlalu bagus karena (harganya) kompetitif. Kemudian artificial, karena barang di luar mendapat tarif impor mahal sehingga barang-barang di Amerika akan dijual dengan harga mahal dan kualitasnya kurang bisa bersaing," jelas dia.
Baca juga: Sektor Perikanan RI Bakal Kena Imbas Kenaikan Tarif Impor AS
Di sisi lain, kondisi ini justru membuka peluang bagi Uni Eropa untuk memperluas perdagangannya ke negara lain. Uni Eropa mewajibkan setiap perusahaan di negaranya mengadopsi prinsip environment, social, governance (ESG).
Negara-negara tersebut pun memiliki standar baru yang lebih memperhatikan linhgkungan, hak asasi manusia, maupun persoalan sosial lainnya. Sehingga, produk yang tidak berkelanjutan mendapatkan restriksi atau pembatasan.
"Misalnya Uni Eropa memperluas perdagangan ke negara lain dan negara lain itu berdagang dengan Eropa, restriksinya bukan restriksi tarif tetapi restriksinya standar keberlanjutan. Ini kesempatan Uni Eropa untuk muncul dengan standar-standar baru untuk perdagangan yang lebih bisa sustainable," tutur Setyo.
Baca juga: Lancarkan Ekspor Nikel, Pemerintah Harus Lakukan Lobi ke AS
Uni Eropa juga memiliki rencana aksi keberlanjutan dalam European Green Deal (EGD) dengan tujuan utama mencapai netralitas iklim pada 2050. Lainnya, mewajibkan sekitar 150.000 perusahaan memiliki laporan keberlanjutan terkait operasional mereka.
"Jepang juga sama, karena Jepang sangat gandrung dengan SDGs. Kalau misalnya lihat laporan dari KPMG, 99 persen perusahaan yang disurvei oleh KPMG mereka menyampaikan tentang laporan keberlanjutan tentang SDGs, tren ke depan semacam itu," kata Setyo.
Adapun Trump menaikkan tarif impor untuk 180 negara, termasuk Indonesia yakni 32 persen. Tarif dagang untuk Indonesia lebih besar dibandingkan beberapa negara Asia seperti Malaysia dan Jepang sebesar 24 persen, Filipina sebesar 17 persen, dan Singapura sebesar 10 persen.
Baca juga: AS Naikkan Tarif Impor, Bagaimana Dampaknya ke Industri Hijau?
Negara Asia yang terkena tarif dagang lebih besar antara lain China 34 persen, Thailand 36 persen, Vietnam 46 persen, serta Kamboja 49 persen.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya