KOMPAS.com - Para pemimpin bisnis global tak lagi berdiam diri dalam transisi energi bersih.
Laporan berjudul "Powering Up: Business Perspectives on Shifting to Renewable Electricity" mengungkapkan bahwa sebanyak 97 persen eksekutif di 15 pasar global kini mendesak pemerintah untuk mempercepat penghapusan bahan bakar fosil dan beralih ke sistem kelistrikan berbasis energi terbarukan.
"Masa depan adalah milik energi terbarukan, dan pemerintah harus bertindak sesuai dengan itu," kata Maria Mendiluce, CEO dari We Mean Business Coalition.
Mengutip ESG News, Jumat (25/4/2025), sebagian besar pemimpin perusahaan (78 persen) berpendapat bahwa negara mereka harus sepenuhnya beralih menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan paling lambat tahun 2035.
Baca juga: Agresif dalam Energi Terbarukan, China Juga Gaspol Batu Bara hingga 2027
Alasan mereka bukan hanya soal lingkungan saja, tetapi juga karena pertimbangan bisnis yang praktis.
Mereka melihat energi terbarukan sebagai cara untuk meningkatkan keamanan energi (75persen), menurunkan biaya listrik (50 persen) dan meningkatkan keuntungan (42 persen).
"Beralih ke energi terbarukan adalah strategi bisnis yang sehat, mengurangi ketergantungan pada harga bahan bakar fosil yang tidak stabil, mengurangi risiko terkait iklim, dan membuka potensi penghematan biaya," ungkap seorang CEO yang berbasis di Inggris.
Para pemimpin perusahaan tidak hanya meminta pemerintah untuk bertindak, tetapi mereka juga mengambil inisiatif sendiri dalam transisi energi bersih.
Laporan menemukan, lebih dari 70 persen pemimpin perusahaan memiliki rencana untuk berhenti menggunakan listrik yang berasal dari bahan bakar fosil dalam waktu 10 tahun ke depan.
Hampir semua pemimpin perusahaan (93 persen) sedang mempertimbangkan untuk berinvestasi dalam pembangkit listrik energi terbarukan yang berlokasi di fasilitas atau properti mereka sendiri, misalnya dengan memasang panel surya di atap pabrik.
Sedangkan separuh dari perusahaan bahkan berharap untuk menyelesaikan investasi ini dan mulai menghasilkan energi terbarukan sendiri dalam waktu lima tahun mendatang.
Baca juga: ASEAN Tertinggal, Cuma 23 Persen Listrik dari Energi Terbarukan
"Dengan menghasilkan energi bersih kita sendiri, kita dapat secara signifikan mengurangi ketergantungan kita pada listrik dari jaringan konvensional," tambah seorang direktur asal Jerman.
Walaupun banyak pemimpin perusahaan sangat ingin beralih ke energi terbarukan, ada beberapa masalah yang membuat kemajuan menjadi lebih lambat dari yang diharapkan.
Beberapa di antaranya adalah biaya awal yang tinggi (46 persen), infrastruktur energi terbarukan yang tidak memadai (38 persen), dan jadwal kebijakan yang tidak jelas (35 persen) sehingga menghambat momentum.
Kendati demikian, para pemimpin perusahaan tahu persis dukungan atau tindakan apa yang mereka perlukan untuk dapat mempercepat transisi ke energi terbarukan dan mengatasi hambatan tersebut.
Di antaranya, dukungan insentif keuangan untuk proyek energi terbarukan (41 persen), program pelatihan ulang untuk pekerja bahan bakar fosil (43 persen) serta mengarahkan kembali subsidi bahan bakar fosil ke energi bersih (38 persen).
"Energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin kini lebih murah daripada bahan bakar fosil di banyak wilayah," kata seorang eksekutif senior asal Australia.
"Energi terbarukan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor, sehingga meminimalkan risiko geopolitik," tambahnya.
Baca juga: Agresif dalam Energi Terbarukan, China Juga Gaspol Batu Bara hingga 2027
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya