JAKARTA, KOMPAS.com — Seiring dengan semakin kritisnya konsumen dan investor, perusahaan-perusahaan tak bisa lagi melakukan greenwashing dan sustainability washing.
Peneliti Senior The Prakarsa, Setyo Budiantoro ia menegaskan, greenwashing atau sustainability washing tidak lagi bisa ditoleransi. Konsumen dan lembaga keuangan, baik di dalam maupun luar negeri, semakin cerdas dan menuntut transparansi serta bukti konkret.
“Kalau hanya janji surga, nggak ada komitmen soal waktu atau jumlah, maka kredibilitas perusahaan yang jadi taruhannya,” tegasnya.
Dengan semakin nyata dampak perubahan iklim dan meningkatnya kesadaran global, mendorong praktik keberlanjutan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. “Ini bukan hanya soal reputasi, tapi juga tentang masa depan kita bersama,” pungkas Setyo.
Baca juga: Perkuat Kelas Internasional dan Kajian Sustainability, IPB Gandeng Kasetsart University
Hampir sama seperti greenwashing, sustainability washing merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan praktik di mana suatu perusahaan atau organisasi membuat klaim atau promosi yang berlebihan atau menyesatkan mengenai keberlanjutan produk atau layanannya.
Ambil Peran Baru
Setyo juga mengatakan konflik dagang antara Amerika Serikat dan China justru membuka peluang bagi Indonesia untuk mengambil peran lebih besar di pasar global.
Hal ini dengan catatan, bahwa perusahaan harus mampu memenuhi standar keberlanjutan yang semakin ketat, terutama dari kawasan Eropa.
“Kalau produk kita tidak sustainable, kita akan dijauhi pasar. Kita nggak bisa masuk. Jadi ini bukan hanya soal etika, tapi juga soal daya saing,” ujarnya dalam perbincangan, Kamis (24/4/2025).
Ia menambahkan, penerapan standar internasional seperti UN Global Compact, IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance), dan pelaporan keberlanjutan melalui OJK maupun Bursa Efek Indonesia, harus menjadi perhatian serius bagi pelaku usaha.
Khususnya di sektor pertambangan, proses dari hulu ke hilir—mulai dari eksplorasi, produksi, transportasi, hingga pengelolaan limbah—harus memenuhi standar responsible mining.
Namun, Setyo mengakui bahwa penerapan praktik keberlanjutan di sektor tambang masih menghadapi tantangan besar.
Meski begitu, beberapa perusahaan mulai menapaki jalur yang sejalan dengan implementasi sustainability.
Berdasarkan catatan Kompas.com, sejumlah perusahaan tambang di Indonesia sudah bersedia diaudit oleh IRMA yaitu Harita dan Vale.
Baca juga: Eropa Bisa Jadi Tujuan Ekspor Baru, Tapi Perusahaan RI Harus Perkuat Sustainability
Langkah ini dinilai sebagai upaya konkret untuk menjawab tudingan “dirty nickel” terhadap produk nikel Indonesia di pasar global.
Lebih lanjut, Setyo mencontohkan implementasi sustainability juga tampak pada perusahaan di sektor pertanian juga seperti Green Giant Pineapple dan Daya Selaras.
Great Giant yang berbasis di Lampung, mampu mengolah limbah kulit nanas menjadi pakan ternak, biogas, dan bahkan budidaya maggot sebagai sumber protein tinggi.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya