Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah Kronis di Balik Kebijakan Bali soal Air Minum Dalam Kemasan

Kompas.com - 01/05/2025, 13:00 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Editor

KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi Bali mendadak menjadi sorotan setelah Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan Surat Edaran (SE) nomor 9 tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih.

Salah satu poin dalam SE tersebut adalah melarang pelaku usaha memproduksi, mendistribusikan, dan menyediakan air minum kemasan plastik sekali pakai di wilayah Bali.

Pemerintah Provinsi Bali menargetkan Pulau Dewata terbebas dari sampah air minum dalam kemasan (AMDK) plastik sekali pakai ukuran di bawah 1 liter pada tahun 2026.

Gubernur Bali I Wayan Koster menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menekan jumlah limbah plastik, yang saat ini menyumbang sekitar 17 persen dari total 3.500 ton sampah harian.

Ia menyoroti pentingnya pendekatan isi ulang (refill) sebagai langkah utama untuk mendorong masyarakat meninggalkan penggunaan kemasan sekali pakai.

"Seluruh proses, baik itu produksi, distributor, termasuk menjualbelikan produk air minum kemasan di bawah 1 liter karena konsep kita adalah refill," kata Koster. 

Kebijakan ini sontak menuai beragam reaksi, baik dukungan maupun kritik dari masyarakat dan pelaku industri.

Namun, di balik kebijakan yang menuai kontroversi ini, muncul pertanyaan penting: sejauh mana plastik telah memengaruhi kehidupan manusia, dan apa sebenarnya fakta ilmiah di baliknya?

Krisis Sampah Plastik

Polusi plastik kini menjadi salah satu masalah lingkungan paling mendesak di dunia. Produksi plastik sekali pakai yang meningkat pesat telah melampaui kemampuan global untuk mengelolanya secara efektif.

Dampak polusi plastik paling nyata terlihat di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, di mana sistem pengelolaan sampah sering kali tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali. Namun, negara-negara maju pun tidak luput dari masalah ini—terutama di negara dengan tingkat daur ulang yang rendah.

Baca juga: Daur Ulang Plastik di Asia Tenggara Berbiaya Tinggi, Tergantung Limbah Impor

Saking meluasnya sampah plastik, isu ini telah mendorong lahirnya inisiatif global untuk merumuskan perjanjian internasional yang kini sedang dinegosiasikan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sebagian besar sampah plastik yang mencemari lautan—sebagai tempat pembuangan terakhir di Bumi—berasal dari daratan. Limbah ini terbawa ke laut melalui sungai-sungai besar, yang berfungsi seperti ban berjalan, mengangkut lebih banyak sampah plastik saat mengalir ke hilir.

Setelah mencapai laut, sebagian besar sampah plastik tetap berada di perairan pesisir. Namun, begitu terbawa arus laut, sampah tersebut dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Di Pulau Henderson—sebuah atol tak berpenghuni di Kepulauan Pitcairn, yang terletak terpencil di antara Chili dan Selandia Baru—ilmuwan menemukan berbagai benda plastik yang berasal dari Rusia, Amerika Serikat, Eropa, Amerika Selatan, Jepang, hingga Tiongkok.

Seluruh sampah ini terbawa ke Samudra Pasifik Selatan oleh arus melingkar yang dikenal sebagai South Pacific gyre.

Plastik dalam Angka

Berikut adalah beberapa fakta penting mengenai plastik:

  • Lebih dari setengah jumlah plastik yang pernah diproduksi dalam sejarah dibuat dalam dua dekade terakhir.
  • Produksi plastik meningkat secara eksponensial—dari 2,3 juta ton pada tahun 1950 menjadi 448 juta ton pada tahun 2015. Angka ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050.
  • Setiap tahun, sekitar delapan juta ton sampah plastik bocor ke lautan dari negara-negara pesisir. Jumlah ini setara dengan menempatkan lima kantong sampah penuh di setiap satu kaki (sekitar 30 cm) garis pantai di seluruh dunia.
  • Plastik umumnya mengandung bahan tambahan yang membuatnya lebih kuat, lentur, dan tahan lama. Namun, bahan-bahan tambahan ini juga memperpanjang masa hancur plastik ketika menjadi sampah. Beberapa perkiraan menyebutkan bahwa plastik membutuhkan waktu setidaknya 400 tahun untuk benar-benar terurai.

Mikroplastik — Ancaman Baru bagi Kesehatan

Begitu masuk ke laut, sampah plastik akan terurai menjadi partikel-partikel kecil akibat paparan sinar matahari, angin, dan gelombang laut.

Partikel-partikel kecil ini—yang dikenal sebagai mikroplastik—sering kali berukuran kurang dari lima milimeter dan kini telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Mikroplastik ditemukan mulai dari puncak Gunung Everest yang tertinggi hingga ke Palung Mariana yang merupakan titik terdalam di Bumi.

Mikroplastik terus terurai menjadi fragmen yang lebih kecil. Bahkan, serat mikroplastik (microfiber) kini ditemukan di sistem air minum kota dan melayang di udara.

Baca juga: Tingkat Daur Ulang Plastik di Dunia Baru 9 Persen

Tidak mengherankan jika para ilmuwan kini juga menemukan mikroplastik di dalam tubuh manusia. Partikel-partikel kecil ini telah terdeteksi di dalam darah, paru-paru, bahkan di dalam feses manusia.

Namun, sejauh mana mikroplastik berdampak terhadap kesehatan manusia masih menjadi pertanyaan besar yang tengah diteliti secara intensif oleh para ilmuwan. Mereka berupaya mengungkap dampak jangka panjang paparan partikel mikroskopis ini terhadap tubuh dan sistem biologis kita.

Dampak Plastik pada Satwa Liar

Setiap tahun, jutaan hewan mati akibat sampah plastik, mulai dari burung, ikan, hingga organisme laut lainnya. Sekitar 2.100 spesies, termasuk yang terancam punah, diketahui telah terpengaruh oleh plastik. Hampir setiap spesies burung laut mengonsumsi plastik.

Sebagian besar kematian hewan disebabkan oleh terjerat atau kelaparan. Anjing laut, paus, penyu, dan hewan lainnya terjerat oleh peralatan pancing yang dibuang atau cincin kemasan enam bungkus.

Mikroplastik telah ditemukan pada lebih dari 100 spesies akuatik, termasuk ikan, udang, dan kerang yang sering kita konsumsi. Dalam banyak kasus, partikel-partikel kecil ini melewati sistem pencernaan dan dikeluarkan tanpa dampak buruk.

Namun, plastik juga ditemukan telah menyumbat saluran pencernaan atau menusuk organ-organ, yang menyebabkan kematian. Perut yang penuh dengan plastik mengurangi dorongan makan, menyebabkan kelaparan.

Hewan darat, seperti gajah, hyena, zebra, harimau, unta, sapi, dan mamalia besar lainnya, juga mengonsumsi plastik, yang dalam beberapa kasus menyebabkan kematian.

Tes juga telah mengonfirmasi adanya kerusakan pada hati dan sel serta gangguan pada sistem reproduksi, yang menyebabkan beberapa spesies, seperti tiram, menghasilkan lebih sedikit telur.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa larva ikan mengonsumsi nanoserat pada hari-hari pertama kehidupannya, yang menimbulkan pertanyaan baru tentang dampak plastik pada populasi ikan.

Dengan semua dampak lingkungan tersebut, sudah seharusnya krisis sampah plastik ini menuntut perhatian serius dan tindakan yang lebih luas, tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat dan sektor industri.

Dengan semakin banyaknya dampak yang ditimbulkan pada kesehatan manusia dan lingkungan, sudah saatnya kita berpikir ulang tentang kebiasaan konsumsi plastik sekali pakai dan beralih ke solusi yang lebih berkelanjutan. (Ricky Jenihansen/National Geographic Indonesia)

Baca juga: TPA di Banyumas Sulap Sampah Plastik Jadi Paving Block dan Genteng

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Merek Mewah Gucci Susun Rencana Keberlanjutan, Atasi Tantangan Air

Merek Mewah Gucci Susun Rencana Keberlanjutan, Atasi Tantangan Air

Swasta
Tegaskan Langkah Hijau, MMSGI Sabet Penghargaan The Best Corporate Transparency and Emission Reduction Award 2025

Tegaskan Langkah Hijau, MMSGI Sabet Penghargaan The Best Corporate Transparency and Emission Reduction Award 2025

Swasta
Krisis Iklim Merenggut Kesempatan Anak untuk Bersekolah

Krisis Iklim Merenggut Kesempatan Anak untuk Bersekolah

Pemerintah
Masalah Kronis di Balik Kebijakan Bali soal Air Minum Dalam Kemasan

Masalah Kronis di Balik Kebijakan Bali soal Air Minum Dalam Kemasan

Pemerintah
Dalam 5 Tahun, Indonesia Punya Tambahan 30 Spesies Baru Burung

Dalam 5 Tahun, Indonesia Punya Tambahan 30 Spesies Baru Burung

Pemerintah
SUN Energy Luncurkan 'SUN RISE', Program Edukasi Energi Terbarukan Percepat Transisi Energi Nasional

SUN Energy Luncurkan "SUN RISE", Program Edukasi Energi Terbarukan Percepat Transisi Energi Nasional

Swasta
Imbalan Pelepasan Hiu dan Pari yang Tertangkap, Risiko dan Harapannya

Imbalan Pelepasan Hiu dan Pari yang Tertangkap, Risiko dan Harapannya

LSM/Figur
Wali Kota Turki Datangi Jakarta, Bicarakan Solusi Pengelolaan Sampah

Wali Kota Turki Datangi Jakarta, Bicarakan Solusi Pengelolaan Sampah

LSM/Figur
Wahana Visi Indonesia Luncurkan Program Ketahanan Pangan di Asmat

Wahana Visi Indonesia Luncurkan Program Ketahanan Pangan di Asmat

LSM/Figur
Sumbangkan Gadget Bekas, Masyarakat Bisa Dapat Voucher Rp 200.000

Sumbangkan Gadget Bekas, Masyarakat Bisa Dapat Voucher Rp 200.000

Swasta
Satelit Biomassa Diluncurkan untuk Hitung Karbon Hutan

Satelit Biomassa Diluncurkan untuk Hitung Karbon Hutan

Pemerintah
Libatkan Masyarakat Kelola Pesisir dan Laut Berkelanjutan, YKAN Gelar Ekspedisi di Maluku

Libatkan Masyarakat Kelola Pesisir dan Laut Berkelanjutan, YKAN Gelar Ekspedisi di Maluku

Pemerintah
Pohon yang Beragam Bikin Kota Tangguh Iklim dan Warga Bahagia

Pohon yang Beragam Bikin Kota Tangguh Iklim dan Warga Bahagia

Pemerintah
Nestlé dan Ofi Luncurkan Proyek Pengurangan Emisi

Nestlé dan Ofi Luncurkan Proyek Pengurangan Emisi

Swasta
Studi Sebut Limbah Industri Berubah Jadi Batu, Apa Dampaknya?

Studi Sebut Limbah Industri Berubah Jadi Batu, Apa Dampaknya?

LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau