Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Daur Ulang Plastik di Asia Tenggara Berbiaya Tinggi, Tergantung Limbah Impor

Kompas.com - 25/03/2025, 17:00 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Daur ulang plastik di Asia Tenggara menghadapi tantangan pembiayaan tinggi untuk pengumpulan dan pemilahan sampah.

Konsultan global Bain & Company dalam laporannya menyebut, biaya pengumpulan dan pemilahan plastik bisa 1,5 hingga dua kali lipat harga limbah mentah.

"Pasar-pasar utama seperti Indonesia, Thailand, dan Vietnam hanya mendaur ulang 8 hingga 25 persen limbah plastik perkotaan besar, menunjukkan perlunya meningkatkan tingkat daur ulang," tulis laporan yang dipublikasikan 18 Maret lalu.

Laporan Bain juga menemukan dengan tingginya biaya pengumpulan dan penyortiran tersebut, pemilik merek tidak bersedia membayar lebih meski target daur ulang atau penggunaan barang bekas itu tinggi.

Seperti dikutip dari Business Times, Selasa (25/3/2025), laporan mengidentifikasi tiga tantangan utama situasi tersebut.

Pertama, rantai nilai untuk daur ulang plastik terfragmentasi dengan ketergantungan yang besar pada pelaku informal, seperti pengumpul perorangan yang menjual limbah plastik untuk menghidupi keluarga mereka.

Baca juga: BRIN dan Pemkab Banjarnegara Olah Sampah Plastik Jadi BBM Setara Solar

Meski pekerjaan semacam itu dapat menjadi penyelamat, kurangnya formalisasi dan koordinasi menyebabkan inefisiensi dan hilangnya peluang.

Kedua, berbagai jenis plastik menghadapi nasib yang berbeda-beda dalam perjalanan daur ulangnya. Contohnya, daur ulang bahan fleksibel seperti kantong plastik dan film tertinggal jauh.

"Bahan-bahan tersebut menimbulkan tantangan unik karena lebih ringan dan tebal, rentan terhadap kontaminasi, dan lebih mahal untuk diproses, sehingga daur ulangnya kurang menarik secara ekonom," tulis laporan ini.

Dan tantangan terakhir adalah Asia Tenggara menghadapi regulasi internasional yang lebih ketat terkait impor limbah plastik.

Banyak negara di kawasan tersebut telah lama bergantung pada limbah impor untuk melengkapi bahan baku daur ulang lokal mereka. Namun, Uni Eropa berencana untuk melarang ekspor limbah plastik ke negara-negara yang bukan anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan pada tahun 2026.

Meski ada tantangan, laporan memperkirakan permintaan plastik daur ulang di kawasan Asia Tenggara akan mengalami pertumbuhan dua digit hingga tahun 2030.

Pasalnya, banyak negara Asia Tenggara mulai mengurangi plastik dan mendorong tingkat daur ulang yang lebih tinggi serta menggunakan plastik daur ulang.

Selain itu, Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Filipina telah memperkenalkan tanggung jawab produsen yang diperluas, sebuah pendekatan kebijakan di mana produsen harus bertanggung jawab atas pengolahan atau pembuangan produk pascakonsumen.

Untuk meningkatkan daur ulang plastik, Bain menyerukan lebih banyak pendidikan tentang sirkularitas plastik dan peran konsumen dalam proses tersebut.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau