KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Utara (Kaltara) sedang merumuskan regulasi untuk melindungi area bernilai konservasi tinggi (ANKT), terutama dari ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Regulasi tersebut krusial untuk mencegah deforestasi akibat perluasan lahan sektor perkebunan, yang berpotensi mempercepat krisis iklim dan menaikkan risiko bencana ekologis.
Baca juga:
Kaltara harus mengadopsi pendekatan yang telah terbukti berhasil dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Salah satu caranya dengan menjalankan praktik perkebunan yang mengikuti prinsip berkelanjutan.
“Kita tidak boleh mengulang kesalahan yang terjadi di wilayah lain. Ekspansi perkebunan yang menyebabkan hilangnya hutan, berkurangnya keanekaragaman hayati, serta mengurangi kualitas hidup masyarakat. Apalagi, Kalimantan Utara ini adalah paru-paru dunia," ujar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penelitian dan Pengembangan (Bappeda dan Litbang) Provinsi Kaltara, Bertius, dalam keterangan tertulis, Selasa (9/12/2025).
Tren perluasan lahan perkebunan sawit di Kalimantan Utara perlu dicegah agar tidak mengorbankan ANKT. Bencana di Sumatera bisa jadi pelajaran.Per September 2025, total luas area tanam kelapa sawit di Kaltara mencapai 579.220 hektar. Pertumbuhan pesat produksi kelapa sawit di Kaltara didorong izin usaha perkebunan dan perkebunan rakyat.
Bahkan, produksi kelapa sawit di Kabupaten Bulungan meningkat selama periode 2018-2024, dengan 25 perkebunan terdaftar yang area tanamnya seluas 74.366 hektar pada 2021. Dari total tersebut, sekitar 84 persen lahan dikuasai perusahaan, sisanya petani rakyat.
Tren perluasan lahan perkebunan sawit di Kaltara perlu dicegah agar tidak mengorbankan ANKT. Berdasarkan kajian Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Kaltara mempunyai tutupan hutan tertinggi di Pulau Kalimantan yaitu mencapai 5,49 juta hektar atau 78,48 persen dari luas wilayah administrasi.
Direktur Eksekutif YKAN, Herlina Hartanto mengatakan, ANKT merupakan kawasan penting secara biologis, ekologis, sosial, dan kultural. Meskipun kelapa sawit berperan strategis dalam pembangunan daerah, pengelolaannya tetap harus berkelanjutan.
Selain itu, tren global saat ini bergerak ke arah mensyaratkan produk berasal dari praktik pengelolaan perkebunan secara berkelanjutan. Di antaranya, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE), serta European Union Deforestation Regulation (EUDR).
"Perlu peran aktif provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan ini, terutama dalam kaitannya dengan kewenangan pemerintah pusat,” tutur Herlina.
Sementara itu, Wakil Direktur Implementasi dan Informasi Konservasi Program Terestrial YKAN, Musnanda Satar mengingatkan bahwa tidak semua area non-hutan layak dialihkan menjadi perkebunan sawit demi alasan ekonomi.
“Konservasi bukan sekadar melindungi satwa atau hutan, tetapi menjaga lingkungan hidup demi keberlanjutan manusia dan alam,” ucapnya.
Ia berharap, langkah Pemprov dan DPRD Kaltara yang akan menerbitkan regulasi terkait perkebunan berkelanjutan mampu menekan deforestasi dan menjaga keseimbangan ekologi di Kaltara.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya