KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi Bali mendadak menjadi sorotan setelah Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan Surat Edaran (SE) nomor 9 tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih.
Salah satu poin dalam SE tersebut adalah melarang pelaku usaha memproduksi, mendistribusikan, dan menyediakan air minum kemasan plastik sekali pakai di wilayah Bali.
Pemerintah Provinsi Bali menargetkan Pulau Dewata terbebas dari sampah air minum dalam kemasan (AMDK) plastik sekali pakai ukuran di bawah 1 liter pada tahun 2026.
Gubernur Bali I Wayan Koster menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menekan jumlah limbah plastik, yang saat ini menyumbang sekitar 17 persen dari total 3.500 ton sampah harian.
Ia menyoroti pentingnya pendekatan isi ulang (refill) sebagai langkah utama untuk mendorong masyarakat meninggalkan penggunaan kemasan sekali pakai.
"Seluruh proses, baik itu produksi, distributor, termasuk menjualbelikan produk air minum kemasan di bawah 1 liter karena konsep kita adalah refill," kata Koster.
Kebijakan ini sontak menuai beragam reaksi, baik dukungan maupun kritik dari masyarakat dan pelaku industri.
Namun, di balik kebijakan yang menuai kontroversi ini, muncul pertanyaan penting: sejauh mana plastik telah memengaruhi kehidupan manusia, dan apa sebenarnya fakta ilmiah di baliknya?
Krisis Sampah Plastik
Polusi plastik kini menjadi salah satu masalah lingkungan paling mendesak di dunia. Produksi plastik sekali pakai yang meningkat pesat telah melampaui kemampuan global untuk mengelolanya secara efektif.
Dampak polusi plastik paling nyata terlihat di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, di mana sistem pengelolaan sampah sering kali tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali. Namun, negara-negara maju pun tidak luput dari masalah ini—terutama di negara dengan tingkat daur ulang yang rendah.
Baca juga: Daur Ulang Plastik di Asia Tenggara Berbiaya Tinggi, Tergantung Limbah Impor
Saking meluasnya sampah plastik, isu ini telah mendorong lahirnya inisiatif global untuk merumuskan perjanjian internasional yang kini sedang dinegosiasikan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebagian besar sampah plastik yang mencemari lautan—sebagai tempat pembuangan terakhir di Bumi—berasal dari daratan. Limbah ini terbawa ke laut melalui sungai-sungai besar, yang berfungsi seperti ban berjalan, mengangkut lebih banyak sampah plastik saat mengalir ke hilir.
Setelah mencapai laut, sebagian besar sampah plastik tetap berada di perairan pesisir. Namun, begitu terbawa arus laut, sampah tersebut dapat menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Di Pulau Henderson—sebuah atol tak berpenghuni di Kepulauan Pitcairn, yang terletak terpencil di antara Chili dan Selandia Baru—ilmuwan menemukan berbagai benda plastik yang berasal dari Rusia, Amerika Serikat, Eropa, Amerika Selatan, Jepang, hingga Tiongkok.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya