KOMPAS.com - Kebutuhan akan pusat data saat ini makin meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi kecerdasan buatan (AI).
Pusat-pusat data besar ini menggunakan sejumlah besar air selama pembangunan dan setelah beroperasi untuk mendinginkan komponen-komponen listrik.
Lalu, sistem pendingin biasanya akan mengandalkan air bersih dari jaringan utama untuk menghindari penyumbatan akibat kotoran.
Namun kebutuhan akan air itu menimbulkan kekhawatiran, terutama di negara-negara yang mengalami kekurangan air.
Mengutip Edie, Selasa (6/5/2025) secara global, infrastruktur yang terkait dengan kecerdasan buatan diperkirakan akan mengonsumsi air yang sangat besar.
Microsoft sendiri melaporkan peningkatan sebesar 34 persen dalam penggunaan air global perusahaannya selama pengembangan alat-alat AI awal.
Baca juga: IMF: AI Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Biaya Emisi Karbon Bisa Dikelola
Untuk mengetahui seberapa berpengaruh sistem pendinganan pada pusat data, penliti melakukan penilaian siklus hidup yang lengkap terhadap berbagai metode pendinginan, dengan mempertimbangkan penggunaan energi, konsumsi air, dan emisi gas rumah kaca.
Semua bagian dari siklus hidup dinilai, mulai dari pembuatan komponen, transportasi, hingga pembuangan akhir masa pakai.
Dengan harapan nantinya dapat mengidentifikasi cara-cara yang paling berkelanjutan dan efisien untuk diterapkan di masa depan dalam pengembangan pusat data.
Microsoft juga telah merilis metodologinya untuk penilaian siklus hidup teknologi pendinginan dalam sebuah repositori terbuka, yang memungkinkan penyedia layanan awan lainnya untuk melakukan analisis serupa.
Analisis yang dilakukan selama dua tahun ini meneliti empat jenis metode pendinginan yakni pendinginan udara tradisional, pelat dingin, perendaman satu fase, dan perendaman dua fase.
Peneliti menemukan bahwa pelat dingin dan kedua metode perendaman tersebut memangkas emisi hingga 15–21 persen, permintaan energi hingga 20 persen, dan penggunaan air antara 31 persen dan 52 persen selama siklus hidup penuh pusat data dibandingkan dengan pendinginan udara.
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa beralih ke 100 persen energi terbarukan dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca hingga 85–90 persen, terlepas dari teknologi pendinginan yang digunakan.
Studi juga menyoroti, meski teknologi pendinginan cair dianggap lebih efisien daripada teknologi lain, bukan berarti tanpa tantangan.
Perendaman dua fase yang metode paling efisien ternyata menggunakan PFAS, bahan kimia yang menghadapi pengawasan regulasi di AS dan UE.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya