KOMPAS.com — Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menilai kecerdasan buatan (AI) penting untuk mempercepat dan memperluas jangkauan prediksi iklim di Indonesia.
Pemanfaatan teknologi ini dinilai mampu mengatasi keterbatasan sistem prediksi iklim konvensional yang selama ini digunakan BMKG. Hal tersebut ia sampaikan dalam forum Inovasi ClimateSmart Indonesia, Senin (5/5/2025), yang juga menjadi ajang peluncuran platform prediksi penyakit akibat dampak iklim berbasis AI.
Dwikorita menjelaskan bahwa selama ini BMKG membutuhkan waktu sedikitnya enam bulan untuk memprediksi cuaca atau musim, termasuk peluang hujan. Prediksi itu pun harus diperbarui secara berkala setiap 10 hari. Selain itu, prakiraan juga dibuat dalam skala waktu lebih pendek—bulanan, mingguan, harian, hingga tiap jam—demi meningkatkan akurasi.
“Dengan teknologi numerik saat ini, kami memang bisa memberi prakiraan hingga tingkat desa. Namun, hanya satu desa dengan satu prediksi musim dan cuaca yang akan terjadi enam bulan mendatang. Jadi, untuk seluruh Indonesia, dibutuhkan waktu lebih lama,” ujar Dwikorita.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pendekatan konvensional ini memiliki keterbatasan akurasi, terutama untuk prediksi jangka panjang. Akurasi prakiraan enam bulan ke depan, misalnya, masih berada di bawah 90 persen. Sebaliknya, jika prediksi dibuat untuk jangka yang lebih pendek seperti tiga minggu atau enam jam ke depan, tingkat akurasinya bisa mencapai 92 persen.
Baca juga: Cegah Wabah karena Iklim, Indonesia Perkuat Sistem Kesehatan dengan AI
“Di sinilah kecerdasan buatan memiliki peran. Dengan AI, kita dapat memproyeksikan kondisi iklim bahkan satu tahun lebih awal. Ini melampaui kemampuan sistem prediksi yang selama ini kami gunakan,” kata Dwikorita.
Menurutnya, penggunaan AI juga memungkinkan adanya ribuan variasi prakiraan cuaca yang dapat dibuat secara simultan di seluruh Indonesia. Pendekatan ini akan melampaui sistem satu wilayah satu prediksi, karena AI memungkinkan prediksi hingga ke skala mikro, seperti kondisi cuaca di satu hotel atau satu gedung pada waktu tertentu.
Kemampuan prediksi yang lebih luas dan lebih detail ini, lanjut Dwikorita, bukan hanya penting untuk penguatan sistem mitigasi bencana, tetapi juga mendukung berbagai sektor lain dalam menghadapi dampak perubahan iklim, termasuk potensi munculnya wabah penyakit.
“Jika kita tahu kemarau akan datang dalam bulan tertentu satu tahun sebelumnya, kita bisa siapkan peringatan dini, termasuk mengantisipasi penyakit yang mungkin berkembang di musim tersebut,” ujarnya.
Meski begitu, Dwikorita mengakui bahwa untuk menghasilkan prediksi iklim berbasis AI yang akurat, data dari BMKG saja tidak mencukupi. Oleh karena itu, ia mendorong kolaborasi dari berbagai pihak dalam pengembangan sistem AI iklim nasional.
“Dibutuhkan sinergi data dari banyak instansi agar AI benar-benar bisa menguatkan sistem prediksi iklim yang bermanfaat luas bagi masyarakat Indonesia,” tutup Dwikorita.
Baca juga: Survei: 91 Persen Masyarakat Indonesia Dukung Upaya Atasi Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya