JAKARTA, KOMPAS.com — Perubahan iklim memperburuk berbagai aspek kehidupan masyarakat pesisir, termasuk meningkatkan risiko gagal tumbuh atau stunting pada anak-anak balita.
Meski tidak berdampak langsung, perubahan iklim menambah kerentanan yang memicu stunting, terutama di wilayah pesisir seperti Demak dan Semarang.
Hal ini disampaikan oleh Aditya Rahmadony, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam sesi kedua diseminasi hasil penelitian bertajuk “Forced Labor and Climate Change: Focus on Women and Children” yang digelar secara daring, Rabu (4/6/2025).
Aditya menjelaskan bahwa Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Kondisi ini membuat wilayah pesisir sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti abrasi, banjir rob, kekeringan, dan krisis lingkungan lainnya.
Menurutnya, Demak dan Semarang menjadi dua daerah pesisir yang paling terdampak. Selain menghadapi kerusakan lingkungan, kedua wilayah ini juga mengalami tingkat stunting yang signifikan. Berdasarkan penelitian tahun 2019, sebanyak 35,76 persen anak di Demak mengalami stunting. Di Semarang, angkanya mencapai 27,7 persen.
“Ini memang sebuah paradoks. Hasil laut merupakan makanan dengan kandungan protein dan gizi tinggi. Namun, anak-anak di daerah pesisir justru banyak mengalami stunting,” jelas Aditya.
Paradoks ini, kata Aditya, terjadi karena sebagian besar masyarakat pesisir menangkap ikan untuk dijual, bukan untuk dikonsumsi. Pendapatan yang rendah membuat keluarga lebih memilih menjual hasil tangkapan demi memenuhi kebutuhan harian lainnya, ketimbang mengutamakannya untuk konsumsi rumah tangga.
Perubahan iklim memperburuk situasi ini. Kenaikan permukaan laut menyebabkan abrasi yang merusak pemukiman, mengganggu mobilitas warga karena jalan-jalan tergenang, merusak lahan pertanian, dan mencemari sumber air bersih.
Baca juga: Nasib Korban Iklim di Demak: Tersandung Hukum Lahan dan Minim Pelatihan
“Hal ini secara perlahan mengganggu ketahanan pangan dan menyebabkan keterbatasan bahan makanan bergizi di wilayah pesisir pantai, khususnya di daerah Demak dan Semarang,” ungkapnya.
Selain gangguan pangan, abrasi juga berdampak pada kualitas sanitasi. Lingkungan yang tercemar dan infrastruktur yang rusak meningkatkan risiko penyakit seperti diare dan malaria—penyakit yang paling rentan menjangkit anak-anak dan kelompok lanjut usia.
“Banjir rob yang kerap terjadi memutus akses masyarakat menuju pusat kesehatan dan menyebabkan pos pelayanan gizi menjadi terbatas,” kata Aditya.
Kondisi-kondisi tersebut, lanjutnya, menjadi faktor yang membuat perubahan iklim memperparah kerentanan terhadap stunting di masyarakat pesisir.
Meski begitu, upaya penanganan stunting telah menjadi perhatian pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah. Secara nasional, terdapat regulasi Nomor 7 Tahun 2021 yang menargetkan penurunan stunting hingga 14 persen.
Di tingkat regional, Demak memiliki kebijakan khusus seperti PERGUB Nomor 11 Tahun 2019 yang kemudian direvisi menjadi PERGUB Nomor 8 Tahun 2024, serta PERBUP Nomor 29 Tahun 2019 yang menekankan pendekatan preventif dan multisektor.
Tidak hanya itu, Demak juga menjalankan sejumlah program inovasi, seperti aplikasi CME—Cengkraman Mata Elang yang awalnya dikembangkan untuk menekan angka kematian ibu dan anak, namun kini juga difungsikan untuk pencegahan stunting sejak dini. Ada pula program sosial SIST—Satu Ikan Satu Telur yang digerakkan komunitas lokal.
Baca juga: Burung Kesulitan Beradaptasi dengan Iklim yang Memanas
Berkat program dan regulasi tersebut, Demak mencatat penurunan angka stunting yang signifikan, dari 35,76 persen pada 2019 menjadi 9,5 persen pada 2023.
Sementara itu, Semarang juga memiliki regulasi berupa PERWALI Nomor 27 Tahun 2022 dengan target penurunan stunting hingga 4 persen pada 2026. Target ini kemudian dipercepat melalui PERWALI Nomor 42 Tahun 2023 dengan target yang sama namun dicapai pada 2024.
Untuk mendukung terwujudnya pencapain itu, Semarang mengembangkan pelayanan pendampingan tumbuh kembang anak lewat aplikasi Sayang Anak IoT Antropometri atau Lional Messi. Masyarakat juga aktif menggandeng sektor usaha dan komunitas dalam penanganan stunting.
“Pendekatan ini berhasil menurunkan angka stunting yang tadinya 26,1 persen secara konsisten sampai tahun 2022,” jelas Aditya.
Namun, Aditya mengingatkan bahwa tantangan ke depan masih besar. Selain pengasuhan yang kurang memperhatikan asupan gizi atau anak-anak yang diasuh oleh kakek-nenek, dampak perubahan iklim terhadap masyarakat pesisir tetap menjadi faktor utama yang menambah kerentanan.
Karena itu, ia mendorong agar strategi adaptasi perubahan iklim dilakukan secara menyatu dengan kebijakan penurunan stunting dan kesehatan masyarakat.
“Penguatan program berbasis komunikasi antar sektor, pembangunan infrastruktur adaptif terhadap perubahan iklim, integrasi teknologi untuk pemantauan, dan pemberdayaan perempuan menjadi hal yang penting dilakukan,” pungkas Aditya.
Baca juga: Nasib Korban Iklim di Demak: Tersandung Hukum Lahan dan Minim Pelatihan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya