Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Burung Kesulitan Beradaptasi dengan Iklim yang Memanas

Kompas.com - 03/06/2025, 19:16 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Sumber Earth.com

KOMPAS.com - Selama beberapa dekade, para ilmuwan berasumsi bahwa burung, dengan kemampuan mereka untuk terbang jauh dan bersarang di berbagai habitat, akan lebih mampu bertahan hidup di iklim yang lebih hangat daripada kebanyakan hewan lainnya.

Akan tetapi sebuah studi baru dari Universitas Yale menjungkirbalikkan optimisme itu.

Studi menunjukkan bahwa bahkan burung-burung yang terbang tinggi itu tidak dapat berpindah tempat dengan cukup cepat untuk menghindari kenaikan suhu.

Baca juga: Bukti Evolusi: Burung Kolibri Mengubah Paruhnya Karena Diberi Makan 

Kesimpulan tersebut didapat setelah peneliti meneliti 406 spesies burung di seluruh Amerika Utara.

Melansir Earth, berdasarkan data pengamatan selama 20 tahun dari ribuan pengamat burung sukarelawan dan mencocokkannya dengan catatan cuaca lokal yang terperinci, tim tersebut mengajukan pertanyaan sederhana: dapatkah burung bergerak cukup jauh dan cukup cepat untuk tetap hidup di iklim yang mereka sukai?

Jawaban singkatnya adalah tidak.

Baca juga: Ahli IPB: Pengendalian Tikus Sawah dengan Burung Hantu, Kurang Efektif

Selama musim panas, banyak spesies melakukan persis seperti yang diprediksi buku teks yakni bergerak ke utara atau naik ke dataran yang lebih tinggi.

Rata-rata, populasi bergeser antara 40 dan 50 mil ke arah garis lintang yang lebih dingin, memangkas sekitar 1,3 derajat C dari panas yang seharusnya mereka hadapi.

Namun wilayah yang mereka kunjungi ternyata menghangat lebih cepat.

Di wilayah yang baru mereka tempati, burung-burung masih mengalami peningkatan suhu rata-rata sekitar 1,35 derajat C di musim panas dibandingkan dengan kondisi di tempat asal mereka dua dekade sebelumnya.

Selain itu, meski beberapa spesies pergi ke wilayah yang lebih dingin, pergerakan itu menurut studi hanya mengurangi pemanasan yang mereka alami sebesar 11 persen.

Selama 20 tahun, suhu musim dingin di tempat yang dikunjungi burung meningkat hingga 3,7 derajat Celsius.

Akibatnya, banyak burung menoleransi kondisi yang lebih panas daripada mengambil risiko berpindah ke habitat yang tidak dikenal.

Baca juga: Dalam 5 Tahun, Indonesia Punya Tambahan 30 Spesies Baru Burung

"Kami menemukan bahwa bahkan kelompok yang sangat mobile, seperti burung, tidak dapat berpindah lokasi dengan cukup cepat untuk mengimbangi kecepatan perubahan iklim," kata penulis senior Walter Jetz, seorang profesor ekologi dan biologi evolusi di Yale.

“Hal ini menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang kemampuan spesies lain yang tidak bisa bergerak sebebas burung untuk bertahan hidup di dunia yang lebih hangat,” paparnya lagi.

Lebih lanjut, temuan ini tidak kemudian menyimpulkan bahwa setiap spesies akan punah.

Tetapi memiliki pemahaman dan pengelolaan yang lebih baik tentang spesies burung yang paling rentan terhadap iklim yang lebih hangat diperlukan untuk mencegah krisis kepunahan yang mengancam.

Sementara itu, solusi jangka panjang yang efektif adalah memperlambat perubahan iklim itu sendiri. Semakin cepat emisi global dikurangi, makin tinggi pula kesempatan hidup spesies ini.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Cabai Palurah dari IPB, Solusi Pedas Berkelanjutan untuk Dapur dan Industri
Cabai Palurah dari IPB, Solusi Pedas Berkelanjutan untuk Dapur dan Industri
LSM/Figur
Produksi Hidrogen Lepas Pantai Tingkatkan Suhu Lokal, Perlu Mitigasi
Produksi Hidrogen Lepas Pantai Tingkatkan Suhu Lokal, Perlu Mitigasi
Pemerintah
Tanam 1.035 Pohon, Kemenhut Kompensasi Jejak Karbon Institusi
Tanam 1.035 Pohon, Kemenhut Kompensasi Jejak Karbon Institusi
Pemerintah
Valuasi Ekonomi Tunjukkan Raja Ampat Lebih Kaya dari Hasil Tambangnya
Valuasi Ekonomi Tunjukkan Raja Ampat Lebih Kaya dari Hasil Tambangnya
LSM/Figur
Murah tapi Mematikan: Pembakaran Plastik Tanpa Kontrol Hasilkan Dioksin dan Furan
Murah tapi Mematikan: Pembakaran Plastik Tanpa Kontrol Hasilkan Dioksin dan Furan
Pemerintah
Driver Ojol Mitra UMKM Grab Akan Dapat Insentif BBM dan KUR
Driver Ojol Mitra UMKM Grab Akan Dapat Insentif BBM dan KUR
Pemerintah
Menhut: Target NDC Perlu Realistis, Ambisius tetapi Tak Tercapai Malah Rugikan Indonesia
Menhut: Target NDC Perlu Realistis, Ambisius tetapi Tak Tercapai Malah Rugikan Indonesia
Pemerintah
Populasi Penguin Kaisar Turun 22 Persen dalam 15 Tahun, Lebih Buruk dari Prediksi
Populasi Penguin Kaisar Turun 22 Persen dalam 15 Tahun, Lebih Buruk dari Prediksi
LSM/Figur
Pembukaan Lahan dan Pembangunan Sebabkan Buaya Muncul ke Permukiman
Pembukaan Lahan dan Pembangunan Sebabkan Buaya Muncul ke Permukiman
Pemerintah
Grab Rekrut Ribuan Driver Ojol untuk Sekaligus Jadi Mitra UMKM
Grab Rekrut Ribuan Driver Ojol untuk Sekaligus Jadi Mitra UMKM
Swasta
Potensi Rumput Laut Besar, tetapi Baru 11 Persen Lahan Budidaya yang Dimanfaatkan
Potensi Rumput Laut Besar, tetapi Baru 11 Persen Lahan Budidaya yang Dimanfaatkan
Pemerintah
Veronica Tan Ingin Jakarta Ramah Perempuan dan Anak
Veronica Tan Ingin Jakarta Ramah Perempuan dan Anak
Pemerintah
BRI Fellowship Journalism 2025 Kukuhkan 45 Jurnalis Penerima Beasiswa S2
BRI Fellowship Journalism 2025 Kukuhkan 45 Jurnalis Penerima Beasiswa S2
BUMN
Sistem Tanam Padi Rendah Karbon, Apakah Memungkinkan?
Sistem Tanam Padi Rendah Karbon, Apakah Memungkinkan?
Pemerintah
Emisi Kapal Turun jika Temukan Jalur Pelayaran Baru yang Efisien
Emisi Kapal Turun jika Temukan Jalur Pelayaran Baru yang Efisien
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau