Indonesia semakin meneguhkan posisinya sebagai pemain utama dalam industri mineral global. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia memiliki peran strategis dalam mendukung transisi energi bersih yang kini tengah berlangsung di berbagai belahan dunia.
Mineral seperti nikel, kobalt, tembaga, dan silika menjadi tulang punggung dalam teknologi kendaraan listrik, panel surya, hingga turbin angin—dan semuanya bergantung pada pasokan yang stabil dan tata kelola yang berkelanjutan.
Dalam konteks itu, penyelenggaraan Indonesia Critical Mineral Conference 2025 di Jakarta pada 3–5 Juni 2025 menjadi penting.
Baca juga: Ramai soal Tambang Nikel Raja Ampat, KKP Kerahkan Tim untuk Cek
Forum ini mempertemukan para pelaku industri, regulator, investor, lembaga keuangan, serta organisasi masyarakat sipil untuk membahas arah kebijakan dan praktik industri mineral kritis, termasuk penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).
Diselenggarakan oleh Shanghai Metal Market (SMM) bekerja sama dengan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), konferensi ini tidak hanya menyoroti isu-isu teknis dan ekonomi, tetapi juga membuka ruang diskusi lintas sektor tentang bagaimana industri mineral dapat tumbuh secara bertanggung jawab.
Di tingkat global, ESG telah menjadi prasyarat utama dalam akses pembiayaan dan kemitraan internasional. Namun, implementasinya tidak selalu mudah. Pengalaman dari New Caledonia, misalnya, menunjukkan bahwa penerapan ESG yang ambisius tanpa dukungan pasar dan kebijakan dapat berujung fatal.
Di sana, perusahaan tambang Prony Resources yang dikenal progresif dalam pelestarian lingkungan dan keterlibatan komunitas lokal, akhirnya harus menyatakan bangkrut pada awal 2024.
Beban biaya tinggi dan ketidakpastian pasar memperlihatkan bahwa ESG memerlukan keseimbangan antara idealisme dan daya tahan finansial.
Baca juga: Mengimplementasikan Standar ESG di Industri Nikel Nasional
Kisah ini menjadi pembelajaran penting bagi Indonesia. ESG bukan sekadar label reputasi, tetapi butuh strategi implementasi yang kontekstual, bertahap, dan didukung oleh regulasi yang adaptif.
Beberapa perusahaan nasional telah mulai mengadopsi standar internasional seperti Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) sebagai langkah membangun kredibilitas di pasar global.
Namun di sisi lain, banyak pelaku industri menilai bahwa standar global tersebut seringkali tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi lapangan di Indonesia.
Menjawab tantangan ini, APNI mulai menggagas pembentukan standar ESG nasional yang lebih relevan secara teknis dan sosial.
Strategi ini bertujuan menciptakan standar keberlanjutan yang tetap diakui secara internasional, tetapi disusun dengan mempertimbangkan kondisi lokal, kapasitas pelaku usaha, serta harmonisasi dengan kerangka hukum nasional.
Baca juga: Lestari Forum 2025: 77,5 Persen Masyarakat Terapkan ESG, tapi Cuma 18 Persen Paham Konsepnya
Langkah ini menunjukkan keinginan industri nasional untuk tidak hanya mengikuti standar global, tetapi juga berperan dalam membentuknya.
Satu hal menarik dari rangkaian kegiatan konferensi ini adalah perluasan topik pembahasan ke jenis mineral lain di luar nikel.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya