Penulis
KOMPAS.com - Saat bicara soal pelestarian satwa liar, banyak pihak cenderung mengatakan perlunya kembali ke kearifan lokal di mana masyarakat dan hewan bisa berhubungan erat tanpa konflik.
Namun, riset yang dilakukan oleh peneliti Erlinda C Kartika saat menempuh program doktoral di Wageningen University and Research, Belanda, menunjukkan bahwa kepercayaan lokal saja tidak akan melindungi.
Dalam risetnya, Erlinda melihat bagaimana warga Sumatera di wilayah yang berbatasan dengan hutan menilai harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan merefleksikan kepercayaan lokal tentangnya.
"Riset saya menunjukkan bahwa kepercayaan itu memang ada. Mereka percaya bahwa harimau adalah jelmaan nenek moyang mereka,” kata Erlinda saat dihubungi Kompas.com, Selasa (29/7/2025).
Baca juga: Melihat Harimau sebagai Bagian dari Kearifan Lokal Masyarakat Sumatra
“Namun, riset juga menunjukkan bahwa kepercayaan itu tidak serta membuat mereka berniat melindungi. Ketika ditanya apa yang dilakukan saat konflik, banyak yang bilang tetap harus dibunuh,” urainya.
Menurutnya, motivasi warga untuk membunuh harimau saat berkonflik, bukan melaporkan atau mengusir sehingga kembali ke hutan adalah “wake up call.”
“Kita mengagung-agungkan kearifan lokal. Tetapi, kehidupan ternyata berkembamg dan kearifan lokal itu mungkin luntur. Jadi kembali ke kearifan lokal saja tidak cukup,” jelas Erlinda yang kini juga mengelola lembaga Hutan Harimau.
Dalam riset kerjasama Erlinda, Jeanne McKay dari University of Kent, dan sejumlah tim menunjukkan bahwa di Sumatera, respon tiap etnis pada harimau berbeda dalam beragam skenario.
Mayoritas orang Minangkabau (73,5 persen) percaya bahwa mereka punya aturan adat terkait dengan harimau. Sementara, persentase orang Melayu dan Kerinci lebih rendah, masing-masing sebesar 52 dan 44 persen.
Terlepas dari etnis, 61,7 persen warga percaya adanya pelindung harimau. Meski demikian, hanya 10,4 persen warga percaya pelindung harimau ada di wilayah mereka.
Ketika konflik muncul karena harimau makan ternak, persentase orang Minangkau yang punya motivasi untuk membunuh paling besar, yaitu 42 persen. Jumlah orang Kerinci dan Melayu yang punya motivasi serupa lebih rendah, 11 dan 9 persen. Dua etnis terakhir cenderung ingin melaporkan ke pihak berwajib.
Meski demikian, jika konflik muncul berupa harimau menyerang orang yang sedang berburu, orang Melayu dan Minangkabau cenderung memilih untuk tak melakukan apapun. Sementara, orang Kerinci cenderung memutuskan melaporkannya pada pihak yang berwajib.
Baca juga: Kearifan Lokal sebagai Jembatan Koeksistensi Manusia dan Harimau Sumatra
Keputusan untuk tak melakukan apapun semakin besar jika orang yang diserang harimau adalah pihak yang dianggap telah melakukan perbuatan asusila.
Riset ini menunjukkan bahwa meskipun warga masih punya kepercayaan terkait harimau, seperti harimau jelmaan dan dewa pelindung dari serangan, dampaknya saat ini pada konservasi tidak sebaik puluhan tahun yang lalu. Langkah konservasi pun harus menyesuaikan.
Erlinda mengungkapkan, warga lokal pun sebenarnya perlu edukasi ulang terkait nilai-nilai mereka.
“Artinya, oke kembali ke kearifan lokal, tetapi tidak cukup itu saja. Harus ada edukasi,” ungkap Erlinda.
Dua materi edukasi yang diperlukan adalah pemberian wawasan soal ekologi harimau, seperti sifat dan wilayah jelajah harimau. Hal lain adalah re-edukasi lagi soal kearifan lokal.
“Karena mungkin wawasan soal kearifan lokal itu berbeda antar-generasi. Di anak muda mungkin sudah luntur,” katanya.
Edukasi warga lokal perlu disertai dengan penguatan upaya konservasi lain. Dua hal yang menurut Erlinda sangat kurang soal konservasi harimau adalah upaya pendataan dan penegakan hukum. Data jumlah harimau Sumatera hingga kini rentang hitungannya masih jauh dan penegakan hukum masih lemah.
Baca juga: Hari Harimau Sedunia, Pengawasan dan Pelestarian Ekosistem Makin Urgent
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya