Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riset Ahli Ungkap, Kearifan Lokal Saja Tak Mempan Lindungi Harimau Sumatera

Kompas.com, 30 Juli 2025, 17:00 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Saat bicara soal pelestarian satwa liar, banyak pihak cenderung mengatakan perlunya kembali ke kearifan lokal di mana masyarakat dan hewan bisa berhubungan erat tanpa konflik.

Namun, riset yang dilakukan oleh peneliti Erlinda C Kartika saat menempuh program doktoral di Wageningen University and Research, Belanda, menunjukkan bahwa kepercayaan lokal saja tidak akan melindungi.

Dalam risetnya, Erlinda melihat bagaimana warga Sumatera di wilayah yang berbatasan dengan hutan menilai harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan merefleksikan kepercayaan lokal tentangnya.

"Riset saya menunjukkan bahwa kepercayaan itu memang ada. Mereka percaya bahwa harimau adalah jelmaan nenek moyang mereka,” kata Erlinda saat dihubungi Kompas.com, Selasa (29/7/2025).

Baca juga: Melihat Harimau sebagai Bagian dari Kearifan Lokal Masyarakat Sumatra

“Namun, riset juga menunjukkan bahwa kepercayaan itu tidak serta membuat mereka berniat melindungi. Ketika ditanya apa yang dilakukan saat konflik, banyak yang bilang tetap harus dibunuh,” urainya.

Menurutnya, motivasi warga untuk membunuh harimau saat berkonflik, bukan melaporkan atau mengusir sehingga kembali ke hutan adalah “wake up call.”

“Kita mengagung-agungkan kearifan lokal. Tetapi, kehidupan ternyata berkembamg dan kearifan lokal itu mungkin luntur. Jadi kembali ke kearifan lokal saja tidak cukup,” jelas Erlinda yang kini juga mengelola lembaga Hutan Harimau.

Sikap Antar Etnis Berbeda

Dalam riset kerjasama Erlinda, Jeanne McKay dari University of Kent, dan sejumlah tim menunjukkan bahwa di Sumatera, respon tiap etnis pada harimau berbeda dalam beragam skenario.

Mayoritas orang Minangkabau (73,5 persen) percaya bahwa mereka punya aturan adat terkait dengan harimau. Sementara, persentase orang Melayu dan Kerinci lebih rendah, masing-masing sebesar 52 dan 44 persen.

Terlepas dari etnis, 61,7 persen warga percaya adanya pelindung harimau. Meski demikian, hanya 10,4 persen warga percaya pelindung harimau ada di wilayah mereka.

Ketika konflik muncul karena harimau makan ternak, persentase orang Minangkau yang punya motivasi untuk membunuh paling besar, yaitu 42 persen. Jumlah orang Kerinci dan Melayu yang punya motivasi serupa lebih rendah, 11 dan 9 persen. Dua etnis terakhir cenderung ingin melaporkan ke pihak berwajib.

Meski demikian, jika konflik muncul berupa harimau menyerang orang yang sedang berburu, orang Melayu dan Minangkabau cenderung memilih untuk tak melakukan apapun. Sementara, orang Kerinci cenderung memutuskan melaporkannya pada pihak yang berwajib.

Baca juga: Kearifan Lokal sebagai Jembatan Koeksistensi Manusia dan Harimau Sumatra

Keputusan untuk tak melakukan apapun semakin besar jika orang yang diserang harimau adalah pihak yang dianggap telah melakukan perbuatan asusila.

Riset ini menunjukkan bahwa meskipun warga masih punya kepercayaan terkait harimau, seperti harimau jelmaan dan dewa pelindung dari serangan, dampaknya saat ini pada konservasi tidak sebaik puluhan tahun yang lalu. Langkah konservasi pun harus menyesuaikan.

Edukasi Warga Lokal

Erlinda mengungkapkan, warga lokal pun sebenarnya perlu edukasi ulang terkait nilai-nilai mereka.

“Artinya, oke kembali ke kearifan lokal, tetapi tidak cukup itu saja. Harus ada edukasi,” ungkap Erlinda.

Dua materi edukasi yang diperlukan adalah pemberian wawasan soal ekologi harimau, seperti sifat dan wilayah jelajah harimau. Hal lain adalah re-edukasi lagi soal kearifan lokal.

“Karena mungkin wawasan soal kearifan lokal itu berbeda antar-generasi. Di anak muda mungkin sudah luntur,” katanya.

Edukasi warga lokal perlu disertai dengan penguatan upaya konservasi lain. Dua hal yang menurut Erlinda sangat kurang soal konservasi harimau adalah upaya pendataan dan penegakan hukum. Data jumlah harimau Sumatera hingga kini rentang hitungannya masih jauh dan penegakan hukum masih lemah.

Baca juga: Hari Harimau Sedunia, Pengawasan dan Pelestarian Ekosistem Makin Urgent

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
Bencana Makin Parah, Kebijakan Energi Indonesia Dinilai Tak Menjawab Krisis Iklim
LSM/Figur
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
Banjir dan Longsor Tapanuli Tengah, WVI Jangkau 5.000 Warga Terdampak
LSM/Figur
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
Distribusi Cadangan Beras untuk Banjir Sumatera Belum Optimal, Baru 10.000 Ton Tersalurkan
LSM/Figur
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Menteri LH Ancam Pidanakan Perusahaan yang Terbukti Sebabkan Banjir Sumatera
Pemerintah
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
KLH Bakal Periksa 100 Unit Usaha Imbas Banjir Sumatera
Pemerintah
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
Tambang Energi Terbarukan Picu Deforestasi Global, Indonesia Terdampak
LSM/Figur
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
LSM/Figur
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
LSM/Figur
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Pemerintah
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
LSM/Figur
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Pemerintah
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
LSM/Figur
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
LSM/Figur
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
LSM/Figur
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau