JAKARTA, KOMPAS.com — Komitmen sektor perbankan nasional terhadap keberlanjutan dinilai masih lemah, terutama dalam hal pembiayaan hijau dan pelaporan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Temuan ini terungkap dalam laporan Indeks Investasi Hijau II yang dirilis oleh Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) bersama Forest Watch Indonesia (FWI).
Laporan tersebut meninjau praktik keuangan berkelanjutan dari 13 bank nasional dan internasional di Indonesia sepanjang 2017–2023.
Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun beberapa bank telah mengadopsi laporan keberlanjutan dan prinsip ESG secara formal, sebagian besar masih menempatkan aspek lingkungan sebagai prioritas rendah dalam pengambilan keputusan pembiayaan.
Direktur IWGFF, Willem Pattinasarany, menilai kondisi ini mencerminkan adanya jarak yang serius antara kepatuhan administratif dan perubahan substansial.
Banyak bank, menurutnya, memang memenuhi kewajiban administratif seperti penyusunan laporan keberlanjutan. Namun, hanya sedikit yang sungguh-sungguh mengarahkan orientasi bisnisnya untuk mendukung transformasi menuju ekonomi hijau.
Baca juga: Transparansi ESG Jadi Sorotan Baru Dunia Usaha, Bagaimana di Tanah Air?
“Padahal, sektor jasa keuangan bisa menjadi motor utama perubahan menuju pembangunan berkelanjutan,” ujar Willem sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (29/7/2025).
Dalam kajiannya, IWGFF menggunakan lima prinsip evaluasi untuk mengukur keberpihakan bank terhadap praktik hijau.
Kelima prinsip itu mencakup pengelolaan risiko sosial dan lingkungan, pengembangan sektor ekonomi berkelanjutan, tata kelola dan pelaporan, kemitraan dan peningkatan kapasitas, serta rencana aksi keuangan berkelanjutan.
Namun, menurut peneliti kajian, Marius Gunawan, berbagai tantangan masih menghambat perubahan tersebut, terutama dalam hal transparansi dan keberanian lembaga keuangan untuk mendanai proyek yang benar-benar berdampak lingkungan.
“Masih banyak bank yang tidak mengadopsi prinsip FPIC (Free, Prior and Informed Consent), bahkan enggan mempublikasikan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan mereka,” ujar Marius.
Hal ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa prinsip keberlanjutan belum menjadi inti dari strategi bisnis lembaga keuangan.
Salah satu penyusun laporan, Derry Wanta, turut menyoroti pendekatan reaktif yang masih menjadi kecenderungan mayoritas bank.
Beberapa di antaranya memang telah menerbitkan obligasi hijau dan mendanai proyek energi terbarukan. Namun, porsinya masih sangat kecil dibandingkan portofolio kredit sektor berbasis lahan yang memiliki dampak lingkungan tinggi.
Menanggapi temuan tersebut, IWGFF merekomendasikan sejumlah langkah strategis untuk memperkuat komitmen perbankan terhadap transisi hijau.
Baca juga: ESG Bukan Lagi Kewajiban tetapi Mesin Inovasi dan Pertumbuhan
Di antaranya, mewajibkan publikasi terbuka atas Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB), mendorong adopsi prinsip FPIC dalam pembiayaan sektor berbasis lahan, memberikan insentif fiskal untuk investasi hijau, serta memperkuat regulasi agar tak hanya bersifat administratif.
Melalui peluncuran Indeks Investasi Hijau II ini, IWGFF berharap regulator, pelaku industri keuangan, dan masyarakat sipil dapat bersinergi mendorong sistem pembiayaan yang lebih bertanggung jawab, yang berpihak pada keberlanjutan dan keadilan sosial.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya