Tanpa valuasi ekonomi, lanjutnya, lingkungan akan terus dianggap sebagai variabel bebas yang bisa dikorbankan demi investasi jangka pendek.
“Raja Ampat harus dilihat bukan sekadar gugus pulau-pulau kecil dengan potensi tambang, tetapi sebagai ekosistem hidup yang memiliki nilai intrinsik, nilai sosial, dan nilai ekonomi yang bersifat regeneratif,” tegas Nimmi.
Ia juga menekankan bahwa keberadaan dan keberlanjutan Raja Ampat bukan hanya penting bagi masyarakat adat dan pelaku wisata, tetapi juga bagi posisi Indonesia secara global, yang tengah membangun narasi kepemimpinan dalam transisi menuju pembangunan hijau.
“Pembangunan nasional sejati harus mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi, antara pemanfaatan dan pelestarian, antara masa kini dan masa depan,” imbuhnya.
Terakhir, Nimmi menegaskan bahwa dengan menjadikan kelestarian sumber daya alam sebagai pusat kebijakan, Indonesia bukan hanya menjaga alam, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya bangsa.
“Raja Ampat sedang berbicara, meminta pembangunan yang bijak, beradab, dan berkelanjutan,” pungkasnya.
Baca juga: Palem Raja Ampat Sudah Critically Endangered, Kini Tambang Datang Menghantam
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya