Dalam beberapa waktu terakhir, ruang publik Indonesia diramaikan oleh perdebatan tajam mengenai perbedaan angka kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia. Apa sebenarnya makna kemiskinan di Indonesia hari ini?
Pertanyaan tersebut tampak sederhana, tetapi jawabannya sangat bergantung pada sudut pandang dan kerangka institusi yang mengukurnya.
Badan Pusat Statistik (bps.go.id) melaporkan bahwa persentase penduduk miskin pada September 2024 sebesar 8,57 persen, turun dari 9,03 persen pada Maret 2024, dengan jumlah sekitar 24,06 juta orang.
Turunnya kemiskinan ini diperoleh dari penurunan 0,46 poin persentase terhadap Maret 2024 dan penurunan 0,79 poin dari September 2023.
Baca juga: Muhaimin Ingin Garis Kemiskinan Diubah: Idealnya Standar World Bank
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan pendekatan basic needs atau kebutuhan dasar. Artinya, seseorang dianggap miskin jika secara ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk makan dan kebutuhan lainnya.
Garis Kemiskinan (GK) dihitung dari dua bagian: Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Perhitungannya dilakukan terpisah untuk wilayah kota dan desa.
GKM menunjukkan jumlah pengeluaran minimum untuk makanan yang setara dengan 2.100 kalori per orang per hari. Kebutuhan makanan ini diwakili oleh 52 jenis bahan makanan seperti beras, ikan, daging, telur, sayur, buah, dan minyak.
Adapun GKBM mencakup kebutuhan penting lainnya seperti tempat tinggal, pakaian, pendidikan, dan layanan kesehatan. Kebutuhan ini dihitung berdasarkan 51 jenis barang dan jasa di kota, serta 47 jenis di desa.
Sementara itu, data Bank Dunia (worldbank.org) memperkenalkan garis kemiskinan internasional terbaru berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) 2021.
Hasilnya, estimasi kemiskinan Indonesia pada 2024 mencapai 5,4 persen untuk garis ekstrem global (3,00 dollar AS per hari), 19,9 persen untuk garis pendapatan menengah-bawah (4,20 dollar AS per hari), dan 68,3 persen untuk garis pendapatan menengah-atas (8,30 dollar AS per hari).
Baca juga: Duduk Perkara Polemik Perbedaan Penghitungan Garis Kemiskinan BPS dan Bank Dunia
“As always, Indonesia’s national poverty line remains the most relevant measure for country-specific policy discussions, while the new global poverty measures are intended for benchmarking Indonesia with other counties. Indonesia’s official poverty lines are set at the provincial level (separately for urban and rural areas) and the poverty rate stood at 8.57 percent in September 2024” (worldbank.org).
Pernyataan resmi Bank Dunia di atas juga menegaskan bahwa garis kemiskinan nasional tetap menjadi rujukan utama kebijakan domestik Indonesia, sementara garis kemiskinan global digunakan sebagai alat perbandingan antarnegara.
Bank Dunia menegaskan bahwa lonjakan angka ini bukan karena kemiskinan di Indonesia meningkat, melainkan akibat kenaikan ambang batas global dan pembaruan PPP untuk mencerminkan standar hidup minimum yang lebih realistis.
Dengan demikian, berdasarkan tolok ukur nasional, kemiskinan tampak menurun dan terkendali. Namun jika merujuk standar global, mayoritas warga Indonesia masih berada di bawah ambang kesejahteraan yang dianggap layak
Data BPS sering digunakan media arus utama untuk menyorot keberhasilan pemerintah.
Berbagai headline mengusung tema "Angka Kemiskinan Turun", "Stabilitas Ekonomi Kokoh", dan sebagainya.
Headline ini menggambarkan narasi optimistis pemerintah bahwa kemiskinan menurun sejalan dengan upaya penguatan stabilitas ekonomi pasca-pandemi.
Baca juga: Duduk Perkara Polemik Perbedaan Penghitungan Garis Kemiskinan BPS dan Bank Dunia
Namun, tingginya angka kemiskinan sebagaimana dirilis Bank Dunia memicu kritik keras dari kalangan oposisi, akademisi, dan kelompok masyarakat sipil yang menilai pemerintah terlalu self-congratulatory dan mengabaikan kemiskinan struktural.
Perbedaan tajam ini menimbulkan pertanyaan kritis oleh publik: apakah angka-angka ini benar-benar mencerminkan realitas sosial, ataukah sekadar hasil konstruksi naratif yang dibingkai oleh kepentingan institusional masing-masing?
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai bahwa metode BPS sudah usang sejak 1976 dan tidak merefleksikan kelompok rentan yang tidak masuk dalam data resmi.
Pernyataan ini mempertegas bahwa kemiskinan bukan sekadar angka, melainkan realitas kompleks yang bergantung pada bagaimana institusi memilih untuk memaknai, mengukur, dan mempublikasikannya.
Dalam konteks ini, teori framing menjadi kunci untuk memahami bagaimana angka statistik bisa berubah menjadi alat pembentuk opini, legitimasi kebijakan, bahkan instrumen politik ekonomi.
Perbedaan ini bukan semata soal angka, tetapi tentang bagaimana realitas sosial dikonstruksikan melalui bahasa, data, dan institusi.
Dalam pandangan Robert N. Entman, framing adalah proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas guna membentuk persepsi publik.
Terdapat empat elemen utama dalam framing: mendefinisikan masalah (define problem), mendiagnosis penyebab (diagnose cause), memberikan penilaian moral (make moral judgment), dan merekomendasikan solusi (treatment recommendation).
Setiap institusi yang terlibat dalam produksi data kemiskinan baik BPS, Bank Dunia, maupun media menggunakan bingkai naratif yang berbeda sesuai dengan kepentingan, audiens, dan kerangka analisis masing-masing.
Baca juga: Standar Garis Kemiskinan BPS Tak Lagi Relevan, Anak Buah Luhut Usul Naik Jadi Rp 765.000
Jika kita mencermati framing versi BPS misalnya, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan individu atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar berdasarkan pengeluaran minimum baik untuk kebutuhan makanan maupun non-makanan seperti perumahan, pendidikan, dan transportasi.
Data BPS bersifat provinsial dan dibedakan antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Dalam bingkai ini, kemiskinan diposisikan sebagai persoalan teknokratis yang solusinya dapat diatasi melalui program bantuan sosial, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan layanan dasar.
Framing ini memperkuat pesan stabilitas dan keberhasilan kebijakan fiskal nasional.
Berbeda halnya dengan framing yang dibangun oleh Bank Dunia.
Menggunakan pendekatan garis kemiskinan global berbasis PPP (Purchasing Power Parity), Bank Dunia memosisikan kemiskinan sebagai kegagalan sistemik dalam menjamin hak-hak dasar manusia untuk hidup layak.
Dengan ambang batas UMIC sebesar 8,30 dollar AS per hari, sebanyak 68,3 persen penduduk Indonesia dikategorikan miskin secara global.
Dalam bingkai ini, kemiskinan bukan sekadar masalah domestik, melainkan bagian dari ketimpangan global dan ketidakseimbangan dalam struktur distribusi kesejahteraan.
Solusinya tidak cukup hanya dengan bantuan sosial, tetapi membutuhkan reformasi sistemik dan komitmen terhadap keadilan sosial global.
Penjelasan metodologis juga perlu diperhatikan. BPS menggunakan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dengan pendekatan pengeluaran dan garis kemiskinan lokal yang dihitung berdasar harga dan kebutuhan minimum setiap wilayah.
Ilustrasi kemiskinan. Bank Dunia mencatat 60,3 persen penduduk Indonesia masih tergolong miskin jika dihitung menggunakan standar negara berpendapatan menengah atasSementara itu, Bank Dunia juga menggunakan data SUSENAS, tetapi menerapkan standar internasional dengan tiga jenis garis kemiskinan: ekstrem (3,00 dollar AS/hari), menengah bawah (4,20 dollar AS/hari), dan menengah atas (8,30 dollar AS/hari), disesuaikan dengan daya beli (PPP) dan disetarakan lintas negara.
Perbedaan pendekatan ini menunjukkan bahwa satu sumber data bisa menghasilkan narasi yang berbeda tergantung pada bagaimana ia dibingkai.
Kritik terhadap angka BPS juga muncul dari berbagai studi yang menunjukkan bahwa media nasional cenderung hanya mengutip angka kemiskinan dari BPS tanpa memperlihatkan dimensi manusiawi di balik statistik.
Narasi media cenderung teknokratis dan normatif, sehingga tidak banyak menggugah empati publik.
Hal ini diperkuat oleh temuan dari penelitian Ahmadriswan Nasution (2018) yang menggunakan teori Actor-Network untuk menganalisis pengukuran kemiskinan di BPS.
Ia menyatakan bahwa proses statistik di BPS terlalu berfokus pada standardisasi dan kompatibilitas teknis, yang akhirnya melemahkan konteks lokal, partisipasi masyarakat, dan refleksi sosial yang seharusnya menyertai angka tersebut.
Dengan demikian, kita perlu mewaspadai apa yang disebut sebagai ilusi representasi. Ketika angka kemiskinan dijadikan satu-satunya ukuran tanpa narasi sosial yang memadai, kita berisiko menormalisasi kemiskinan sebagai angka yang “turun” tanpa memperhatikan kualitas hidup masyarakat miskin itu sendiri.
Misalnya, apakah seseorang yang hidup dengan Rp 20.000 per hari atau kurang dari USD 1,5, kemudian benar-benar sudah keluar dari kemiskinan hanya karena memenuhi batas pengeluaran minimum versi lokal?
Baca juga: Melampaui Angka: Membaca Ulang Garis Kemiskinan Indonesia
Bagaimana dengan masyarakat di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) atau pekerja informal yang tidak tercakup dalam jaminan sosial?
Dalam konteks multidimensi, UNDP (United Nations Development Programme) melalui Multidimensional Poverty Index (MPI) menggarisbawahi bahwa kemiskinan juga berarti terbatasnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik, dan partisipasi sosial.
Jeffrey Sachs (2005) dalam The End of Poverty menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan memerlukan fondasi yang kuat dalam pendidikan dan kesehatan dua sektor yang menjadi indikator utama pembangunan manusia.
Sehingga menjadi sebuah refleksi bagi kita bersama bahwa perbedaan antara data BPS dan Bank Dunia bukan semata pertentangan metodologis, tetapi cerminan dari dua cara melihat realitas sosial: sebagai statistik atau sebagai perjuangan hidup.
Pemerintah Indonesia perlu lebih transparan dalam menjelaskan tujuan dari angka kemiskinan nasional, termasuk keterbatasannya. Edukasi publik mengenai metodologi dan tujuan masing-masing pendekatan sangat penting agar tidak tercipta disinformasi.
Media juga berperan serta memiliki tanggung jawab untuk tidak terjebak pada statistik yang sekadar menampilkan angka penurunan. Mereka perlu menghadirkan wajah-wajah kemiskinan yang sesungguhnya, agar kebijakan publik tetap berpijak pada realitas, bukan sekadar representasi.
Baca juga: Bank Dunia Ubah Standar Garis Kemiskinan, Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Naik Jadi 194,6 Juta Jiwa
Akhirnya, masyarakat sipil dan akademisi harus terus menjadi penyeimbang narasi untuk menjaga agar statistik tidak menjadi alat pembius kesadaran sosial, melainkan menjadi dasar untuk merancang kebijakan inklusif, adil, dan manusiawi.
Karena kesejahteraan sejati tidak semata-mata tercermin dari turunnya persentase statistik, tetapi dari terpenuhinya hak dasar untuk hidup layak, bermartabat, dan setara bagi seluruh warga negara Indonesia.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya