JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil menyampaikan empat rekomendasi kepada Pelapor Khusus PBB untuk Hak-hak Masyarakat Adat, Albert K Barume.
Dalam rekomendasinya, masyarakat adat mendorong agar pemerintah memulihkan hak atas wilayah adat yang diambil atas nama pembangunan.
Kemudian, mendesak evaluasi terhadap proyek strategis nasional di wilayah adat dan menjamin keterlibatan penuh masyarakat adat dalam setiap proses pembangunan.
Mereka juga meminta pemerintah menjalankan prinsip Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), serta mendesak pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
Baca juga: Kemenhut: Hutan Adat Indonesia Seluas 332.505 Hektare
“Rekomendasi ini sangat penting artinya bagi masyarakat adat mengingat sebagian besar wilayah adat masih berada dalam ketidakpastian hukum dan terancam oleh proyek-proyek berskala besar,” kata perwakilan Badan Registrasi Wilayah Adat, Kasmita Widodo, dalam keterangannya, Selasa (15/7/2025).
Dia mencatat, ada 1.583 wilayah adat seluas 32,3 juta hektare yang telah dipetakan dan diregistrasi melalui pemetaan partisipatif hingga Maret 2025.
Namun, baru 302 wilayah adat atau sekitar 5,3 juta hektare yang diakui secara resmi oleh pemerintah daerah.
“Artinya, hanya sekitar 19 persen dari wilayah adat yang telah dipetakan yang mendapat pengakuan hukum negara,” ujar Kasmita.
Menurut dia, pemetaan tersebut merupakan bentuk visibilitas masyarakat adat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan.
Baca juga: Membangun Tanpa Merusak, Masyarakat Adat Aru Raih Penghargaan Kelas Dunia
Sementara itu, Venny Siregar dari Koalisi RUU Masyarakat Adat menyoroti lambannya proses RUU yang berlangsung lebih dari satu dekade.
“Selama 15 tahun, RUU Masyarakat Adat hanya masuk sebagai usulan anggota DPR, namun belum pernah menjadi inisiatif pemerintah. Prosesnya masih panjang,” jelas dia.
Venny menyampaikan, Badan Legislasi DPR RI masih banyak penolakan Badan Legislasi DPR RI terhadap substansi yang diajukan. Ini termasuk belum diakuinya wilayah adat secara eksplisit.
Dalam naskah terbaru, pihaknya berupaya mengusulkan pengurangan narasi yang menyudutkan masyarakat adat sebagai penghambat investasi.
Baca juga: Perempuan, Masyarakat Adat, dan Pemuda Jadi Bagian dari Iklim
“Kami mendorong ruang dialog langsung antara masyarakat adat dan negara, agar masyarakat adat bisa menyampaikan sendiri persoalan dan kebutuhannya,” tutur Venny.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya