Editor
JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai rencana pemerintah untuk tidak memperpanjang insentif kendaraan listrik pada 2026 berisiko menghambat adopsi kendaraan listrik.
Selain itu, IESR juga menyebut langkah itu akan menghilangkan potensi manfaat ekonomi hingga Rp 544 triliun per tahun dalam jangka panjang.
Penilaian tersebut disampaikan menyusul pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebutkan insentif mobil listrik tidak akan diperpanjang pada 2026.
Baca juga: HIPMI Ungkap Peluang Cuan dari Mobil Listrik, dari SPKLU sampai IT
Anggaran insentif tersebut akan dialihkan untuk mendukung program mobil nasional. Insentif yang akan berakhir mencakup pembebasan bea masuk impor kendaraan listrik utuh (completely built up/CBU) dari tarif normal 50 persen menjadi nol persen.
IESR menilai penghentian insentif akan mendorong kenaikan harga mobil listrik akibat hilangnya potongan PPN 10 persen dan insentif impor.
Chief Executive Officer (CEO) IESR Fabby Tumiwa mengatakan elektrifikasi kendaraan bermotor sejalan dengan visi ketahanan dan kemandirian energi nasional.
"Berdasarkan analisis IESR, penggunaan mobil listrik sejauh 20.000 kilometer dapat mengurangi impor BBM hingga 1.320 liter dan menghemat biaya pengguna sekitar Rp 6,89 juta per tahun. Kondisi tersebut berpotensi menekan penjualan kendaraan listrik serta memperlambat perkembangan industri pendukung, termasuk baterai dan komponen kendaraan listrik," ujar dia dalam keterangan resmi, Jumat (19/12/2025).
Menurut IESR, menjaga momentum adopsi kendaraan listrik penting untuk mendorong permintaan yang dapat memicu tumbuhnya industri baterai terintegrasi dari hulu ke hilir.
Ekosistem industri tersebut dinilai mampu menciptakan akumulasi manfaat ekonomi minimal Rp 544 triliun per tahun hingga 2060, bahkan berpotensi lebih besar jika seluruh rantai nilai kendaraan listrik diperhitungkan.
IESR memahami bahwa insentif kendaraan listrik bersifat sementara untuk menarik investasi manufaktur. Namun, kebijakan tersebut dinilai masih layak diperpanjang apabila terbukti memberikan manfaat lebih besar bagi penguatan industri dan peningkatan daya saing kendaraan listrik nasional.
Saat ini, tercatat delapan pabrikan kendaraan listrik telah memproduksi mobil listrik di Indonesia. Namun, jumlah tersebut dinilai belum cukup untuk menciptakan persaingan pasar yang sehat.
Padahal, pemerintah menargetkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) mencapai 60 persen pada 2027 dan 80 persen pada 2030, yang membutuhkan basis manufaktur lebih luas.
Studi IESR juga menunjukkan peran signifikan insentif dalam mendorong adopsi kendaraan listrik. Hingga Oktober 2025, penjualan mobil listrik mencapai 68.827 unit, dengan dominasi kendaraan yang memperoleh insentif.
Sebaliknya, berakhirnya insentif sepeda motor listrik pada 2025 menyebabkan penjualan anjlok hingga 80 persen pada kuartal pertama dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Baca juga: Hanya Sedikit Orang Indonesia Beli Mobil Listrik Demi Atasi Perubahan Iklim
Dengan jumlah kendaraan listrik di jalan yang mencapai sekitar 140.000 unit hingga Oktober 2025, potensi penghematan impor BBM diperkirakan mencapai 185.000 kiloliter, dengan pengurangan biaya kompensasi sekitar Rp 315 miliar pada tahun berjalan.
IESR menilai percepatan elektrifikasi kendaraan membutuhkan kebijakan yang konsisten, termasuk rasionalisasi subsidi BBM yang selama ini dinilai melemahkan daya saing kendaraan listrik.
Selain itu, diperlukan dukungan kebijakan non-fiskal, pembiayaan hijau, serta insentif tambahan untuk menjaga minat konsumen dan investasi.
IESR pun mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang rencana penghentian insentif kendaraan listrik, mengingat masih adanya produsen yang berada dalam tahap pembangunan pabrik serta kebutuhan menjaga daya tarik investasi Indonesia di tengah persaingan kawasan Asia Tenggara.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya