Lebih jauh, terhentinya aktivitas perekonomian selama masa pandemi menunjukkan dampak luas dari krisis kesehatan terhadap sektor lain.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana alam di Indonesia juga mencerminkan dampak nyata dari perubahan iklim.
Intensitas banjir yang semakin tinggi di berbagai wilayah, disertai kekeringan di daerah lain, menunjukkan ketidakseimbangan iklim yang kian mengkhawatirkan.
Di sisi lain, persoalan kelangkaan air bersih juga semakin mengemuka dan perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak.
Terakhir, risiko akibat tensi geopolitik juga dirasakan secara langsung oleh Indonesia. Salah satu contohnya adalah kebijakan kenaikan tarif impor yang diterapkan pada periode kedua pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Meskipun Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan adanya kesepakatan baru dengan Presiden Trump, namun perlu diakui bahwa kesepakatan tersebut belum sepenuhnya mencerminkan prinsip saling menguntungkan (win-win solution).
Sebagai penutup, salah satu pesan yang bisa digarisbawahi adalah “banyak risiko yang telah berkembang menjadi krisis nyata”.
Hal ini terjadi karena kurangnya kesiapan dalam menghadapi risiko yang berpotensi muncul, padahal berbagai peringatan telah disampaikan terkait kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Terlebih lagi, peringatan ini tidak hanya berasal dari satu lembaga. Berbagai laporan dari lembaga lain yang membahas perubahan lanskap risiko global seharusnya dapat dijadikan referensi penting dalam pengambilan kebijakan.
Apa persiapan yang harus dilakukan? Salah satu pesan paling utama adalah bekerjasama atau kolaborasi.
Kata-kata ini mudah diucapkan, tapi sulit dilakukan. Lakukan identifikasi dan aksi nyata. Tidak hanya sebatas seminar dan diskusi yang terus berulang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya