KOMPAS.com - Dunia merayakan Global Tiger Day pada 29 Juli 2025 untuk meningkatkan awareness soal harimau.
Bagi Indonesia, momen itu merupakan kesempatan untuk memahami lebih banyak soal harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), satu-satunya spesies harimau yang tersisa di nusantara.
Sebagai spesies ikonik, harimau sumatera banyak menjadi obyek penelitian. Dalam 10 tahun terakhir, sejumlah riset mengungkap temuan berharga soal spesies "critically endangered" menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN). Apa saja?
Karena hidup di tengah hutan, survei populasi harimau sumatera sangat menantang. Metode survei beragam, mulai berbasis camera trap hingga berdasarkan kotorannya.
Sejumlah lembaga seperti Harimau Kita, Yayasan Konservasi Hutan Harimau, hingga Balai Konservasi Sumber Daya Alam terlibat dalam perkiraan jumlah populasi sata itu. Sejauh ini, baru ada dua wide survey yang dilakukan, yaitu dekade pertama abad 21 dan tahun 2018.
Yayasan Konservasi Hutan Harimau mengungkap, rentang populasi harimau sumatera bisa antara 173-883. Rentang yang sangat lebar, hampir 500 persen, menunjukkan betapa sulitnya menentukan dengan pasti.
Kepala Balai Taman Nasional Kerinci Seblat, Haidir, mengungkapkan bahwa di taman nasionalnya yang seluas 1,4 juta hektar, terdapat kurang lebih 115-130 individu harimau sumatera.
Baca juga: Apakah Melindungi Harimau di Hutan Bisa Atasi Perubahan Iklim?
Rentang perkiraan populasi yang lebih ini, menurut ahli, sangat menyulitkan langkah konservasi. Pendanaan menjadi alasan utama survei lebih baik dan sering sulit dilakukan.
Riset yang dipublikasikan di jurnal Nature pada 2017 kembali menegaskan bahwa jumlah dan kepadatan populasi harimau sumatera belum pasti. Riset biasa dilakukan oleh tiap taman nasional dengan margin error besar.
Riset itu memperkirakan bahwa densitas harimau sumatera di taman nasional meningkat. Sayangnya, data yang bisa jadi baik itu dinegasikan oleh tingkat deforestasi yang tinggi.
Hutan-hutan di Sumatera mengalami perubahan menjadi perkebunan, permukiman, dan mengalami kebakaran. Akibatnya, harimau sumatera tetap mengalami ancaman besar meski berada di taman nasional.
Perubahan lansekap membuat habitat bagi harimau mengecil, apalagi jika terus terfragmentasi. Wilayah jelajah harimau sumatera menjadi terbatas, sulit menemukan mangsa, serta meningkatkan peluang inbreeding.
Riset yang dipublikasikan pada 2018 mengajak semua untuk melibatkan masyarakat lokal dalam upaya melestarikan harimau. Sebab, sikap mereka pada harimau beragam.
Riset menyurvei orang Minangkabau, Kerinci, dan Melayu yang tinggal di wilayah kerap berkonflik dengan harimau. Lebih dari 60 persen warga percaya bahwa ada penjaga yang melindungi mereka dari serangan harimau. Sejumlah warga, terutama Minangkabau, percaya ada aturan adat terkait harimau.
Tidak dalam setiap konflik, warga ingin membunuh harimau. Jika harimau menyerang ternak warga, maka orang Minangkabau cenderung ingin membunuh harimau. Namun, jika harimau menyerang orang yang sedang berburu atau yang melakukan perbuatan yang dipandang asusila, merka tak ingin membunuhnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya