KOMPAS.com - Laporan dari Basel Action Network (BAN) mengungkapkan Amerika Serikat mengekspor jutaan barang elektronik bekas yang sebagian besar tujuannya adalah negara-negara berkembang di Asia Tenggara.
Tindakan ini menimbulkan krisis lingkungan karena negara-negara tersebut belum memiliki cara aman untuk memproses limbah elektronik yang mengandung zat beracun seperti timbal dan merkuri.
BAN mengatakan investigasi selama dua tahun menemukan setidaknya 10 perusahaan AS mengekspor elektronik bekas ke Asia dan Timur Tengah di antaranya Malaysia, Indonesia, Thailand, Filipina, dan UEA.
BAN menyebut fenomena ekspor besar-besaran sampah elektronik ini sebagai "tsunami tersembunyi".
Baca juga: Mengapa Daur Ulang Barang Elektronik Penting Dilakukan?
"Arus sampah elektronik ini menambah margin keuntungan bagi sektor daur ulang elektronik di AS. Barang yang diekspor sebagian besar peralatan TI milik publik dan perusahaan Amerika yang sudah tak terpakai dan diekspor secara diam-diam dan diproses dalam kondisi berbahaya di Asia Tenggara," tulis laporan ini seperti dikutip dari Phys, Rabu (22/10/2025).
Pengiriman tersebut seringkali dideklarasikan di bawah kode perdagangan yang tidak sesuai dengan kode untuk sampah elektronik. Misalnya saja seperti 'bahan komoditas' atau barang daur ulang lainnya untuk menghindari deteksi oleh petugas bea cukai dan melanggar peraturan internasional tentang pergerakan limbah berbahaya.
Lebih lanjut, laporan menyebut setiap bulan sekitar 2.000 kontainer yang memuat sekitar 33.000 metrik ton elektronik bekas dikirim keluar dari pelabuhan AS menuju negara-negara berkembang.
Laporan juga memperkirakan bahwa antara Januari 2023 dan Februari 2025, 10 perusahaan tersebut mengekspor lebih dari 10.000 kontainer limbah elektronik potensial senilai lebih dari 1 miliar dolar AS.
Mirisnya, delapan dari 10 perusahaan yang teridentifikasi memiliki sertifikasi R2V3. Itu adalah sebuah standar industri yang dimaksudkan untuk memastikan elektronik didaur ulang secara aman dan bertanggung jawab, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang nilai dari sertifikasi semacam itu.
Tony R. Walker, yang meneliti perdagangan limbah global di Dalhousie University's School for Resource and Environmental Studies di Halifax, Kanada tidak terkejut melihat sampah elektronik masih bisa menghindari regulasi.
Baca juga: KLH Kembalikan 73 Kontainer Berisi Limbah Bekas Elektronik Asal AS
Menurutnya, meski beberapa perangkat dapat diperdagangkan secara legal jika masih berfungsi, sebagian besar ekspor ke negara berkembang adalah barang rusak atau usang dan salah diberi label sehingga malah ditujukan ke ke tempat pembuangan akhir yang mencemari lingkungan dan memiliki nilai pasar yang kecil.
Sampah elektronik, atau e-waste, mencakup perangkat yang dibuang seperti ponsel dan komputer yang mengandung material berharga dan juga logam beracun seperti timbal, kadmium, dan merkuri.
Volume sampah meningkat karena siklus gadget yang semakin cepat. Hal ini menimbulkan pertumbuhan tingkat sampah elektronik lima kali lebih cepat daripada kemampuan sistem daur ulang formal untuk menanganinya.
Pada tahun 2022, produksi sampah elektronik global mencapai angka tertinggi yang pernah tercatat, yaitu 62 juta metrik ton.
Namun tak berhenti sampai situ, sebab International Telecommunication Union milik Perserikatan Bangsa-Bangsa dan unit penelitiannya, UNITAR memproyeksikan jumlah sampah elektronik akan meningkat menjadi 82 juta ton pada tahun 2030.
Baca juga: Menteri LH: Jakarta Belum Serius Tangani Sampah, Limbah 8.000 Ton Masuk Bantargebang
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya