Setiap tanggal 29 Juli, dunia memperingati Global Tiger Day sebagai momen reflektif untuk menguatkan komitmen terhadap pelestarian harimau di habitat alaminya.
Tahun ini, tema global “Harmonious Coexistence between Humans and Tigers” yang menyerukan pentingnya membangun hubungan yang saling menghormati antara manusia dan harimau, serta menciptakan ruang hidup yang aman dan berkelanjutan bagi keduanya.
Di tingkat nasional, Forum Konservasi Harimau Sumatra HarimauKita mengangkat semangat yang senada melalui tema “Aksi Nyata Pelestarian Harimau Bersama Masyarakat, Pemerintah, dan Pelaku Usaha”, menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak dalam mewujudkan konservasi yang berbasis keadilan ekologis.
Baca juga: Melihat Harimau sebagai Bagian dari Kearifan Lokal Masyarakat Sumatra
Sinergi kedua tema ini menggarisbawahi bahwa koeksistensi bukanlah konsep abstrak, melainkan agenda nyata yang harus diwujudkan melalui keterlibatan aktif masyarakat, komitmen kebijakan yang kuat, dan praktik pembangunan yang selaras dengan kelestarian alam.
Di Indonesia, harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu-satunya subspesies harimau yang masih tersisa, setelah kerabatnya, harimau bali dan harimau jawa, dinyatakan punah beberapa dekade lalu.
Saat ini, status konservasi harimau sumatra masuk kategori “Kritis” menurut Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature), yang menandakan risiko kepunahan yang sangat tinggi.
Di tingkat nasional, harimau sumatra juga telah ditetapkan sebagai satwa dilindungi berdasarkan Permen LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, yang melarang segala bentuk perburuan, perdagangan, dan pemanfaatan ilegal.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menunjukkan komitmennya melalui berbagai inisiatif, seperti pengembangan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatra, penguatan kawasan konservasi, peningkatan patroli pengamanan, serta kolaborasi multipihak dalam mengelola bentang alam kritis.
Namun, keberhasilan konservasi harimau sumatra tidak hanya bergantung pada pendekatan teknis atau kebijakan formal, tetapi juga pada pengakuan terhadap peran masyarakat lokal dan adat yang hidup berdampingan langsung dengan spesies ini.
Baca juga: Patroli Nagari Dibentuk, Jaga Harimau Tetap Liar, Manusia Tetap Damai
Dalam beberapa dekade terakhir, Pulau Sumatra, yang merupakan benteng terakhir harimau yang dimiliki Indonesia, mengalami pertumbuhan populasi penduduk yang signifikan, disertai peningkatan kebutuhan akan lahan untuk pertanian, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur.
Perluasan aktivitas ekonomi berbasis lahan ini telah menyebabkan penyusutan dan fragmentasi habitat hutan, mendorong harimau keluar dari kawasan hutan dan memasuki wilayah yang lebih dekat dengan permukiman manusia.
Akibatnya, intensitas konflik antara manusia dengan harimau meningkat, yang tidak jarang berakhir dengan kerugian di kedua belah pihak, baik secara ekonomi maupun ekologis.
Dalam konteks ini, hidup berdampingan secara harmonis atau koeksistensi tidak lagi bisa dianggap sebagai gagasan idealistis, melainkan sebagai sebuah keharusan. Pendekatan ini mendorong pemahaman bahwa keberadaan harimau tidak hanya membawa tantangan, tetapi juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan.
Koeksistensi membuka jalan bagi strategi pelestarian yang lebih inklusif dan adaptif, dengan mengintegrasikan pengetahuan lokal, perencanaan tata guna lahan yang bijak, serta penguatan kapasitas masyarakat dalam mencegah dan merespons konflik secara berkelanjutan.
Tanpa perubahan pendekatan ini, kita berisiko kehilangan tidak hanya keanekaragaman hayati yang sangat berharga, tetapi juga warisan budaya yang melekat pada masyarakat Sumatra.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya