JAKARTA, KOMPAS.com – Skema pendanaan berbasis ekologis atau ecological fiscal transfer (EFT) menjadi salah satu jawaban atas penanganan krisis iklim di Indonesia, khususnya di level pemerintah daerah (pemda).
Kebutuhan pendanaan iklim di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp 343 triliun per tahun. Sementara, kontribusi APBN dan sumber pendanaan lain masih jauh dari mencukupi.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) Fitria Muslih menegaskan bahwa EFT dapat menjadi bagian dari skema untuk mengurangi emisi dengan memastikan kontribusi nyata terhadap pemenuhan pendanaan iklim, penciptaan lapangan kerja hijau (green jobs), dan ketahanan sosial-ekologis jangka panjang.
Diinisiasi oleh KMS-PE sejak 2017, EFT memiliki tiga skema pendanaan, yakni Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE), dan Alokasi Anggaran Kelurahan berbasis Ekologi (ALAKE).
Menurut perhitungan Indonesia Development Insight, Indonesia sebenarnya punya potensi mendapatkan dana ekologis dari EFT sebesar Rp 10,2 triliun per tahun. Dana ini didapat dari 0,25 persen total belanja pemerintah pusat dan daerah. Hanya, penerapannya masih belum maksimal.
Hingga awal Agustus 2025, sudah ada 48 pemda yang telah mengadopsi EFT atau baru sekitar 8,9 persen dari total daerah di Indonesia dengan dana yang terkumpul sebesar Rp 529 miliar.
“Kami meyakini, jika EFT dijadikan sebagai mandatory, potensi dana yang akan dialokasikan bisa mencapai Rp 10,2 triliun per tahun, baik (pada level pemerintah) pusat maupun daerah. Angka ini setara dengan 1,3 persen terhadap total kebutuhan dana emisi pada 2030 yang mencapai Rp 4.000 triliun,” ujar Fitria di acara Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis Ke-6 di Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Baca juga: WWF: Kolaborasi UMKM dan Korporasi Jadi Kunci Akses Pendanaan Hijau
Oleh karena itu, lanjutnya, pada Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis tahun ini, KMS-PE mendorong penerbitan peraturan presiden (perpres) untuk mewajibkan penerapan EFT dalam kebijakan fiskal nasional. Beleid ini bisa menjadi bagian dari strategi pemenuhan pendanaan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono mengatakan, EFT menjadi salah satu skema strategis untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan pendanaan untuk program lingkungan hidup serta perlindungan ekologis.
“Apalagi, Presiden Prabowo Subianto juga meminta percepatan target penurunan emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) Indonesia yang tadinya 2060 menjadi 2050. Ini tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit,” ujar Diaz saat membuka Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis Ke-6.
Meski demikian, dia mengingatkan bahwa pengembangan berbagai skema EFT tidak boleh terlepas dari tujuan utama, yakni memastikan setiap instrumen pendanaan hijau benar-benar memberikan dampak nyata terhadap kelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok rentan dan komunitas penjaga ekologi.
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto yang juga hadir dalam konferensi tersebut turut mengamini potensi EFT. Untuk memaksimalkan penatalaksaannya, dibutuhkan kolaborasi seluruh pihak, termasuk kepemimpinan kuat kepada daerah.
Menurut Bima, kepemimpinan hijau (green leadership) berperan besar dalam penguatan skema ini.
“Green leadership kepala daerah bisa dibangun dengan kolaborasi bersama sektor swasta, penguatan ruang hijau dan konservasi ekonomi lokal, perubahan perilaku warga melalui kampanye dan edukasi politik, serta kebijakan tata kelola fiskal yang konsisten,” jelas Bima.
Bima pun menyambut baik Green Leaders Forum (GLF) di Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis yang diadakan KMS-PE. Menurutnya, forum tahunan kepala daerah yang punya komitmen terhadap ekologi ini berperan besar untuk penguatan kolaborasi antarkepala daerah.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya