JAKARTA, KOMPAS.com - World Wildlife Fund (WWF) mendesak negara-negara dalam perundingan Perjanjian Plastik Global (INC-5.2) lebih ambisius mengakhiri polusi plastik. INC-5.2 tengah berlangsung di Jenewa, Swiss pada 5-14 Agustus 2025.
Global Plastics Policy Lead WWF, Zaynab Sadan, menyebut apabila gagal lagi mencapai konsensus pertemuan itu hanya akan berakhir pada perjanjian lemah yang merugikan masyarakat global.
“Dalam situasi geopolitik yang terus berubah, perundingan ini berada di ujung tanduk," ungkap Sadan dalam keterangannya, Rabu (6/8/2025).
"Negara-negara produsen minyak bumi telah memanfaatkan mekanisme konsensus bukan untuk membangun kesepakatan, melainkan untuk merusaknya. Ini bukanlah multilateralisme, tapi obstruksionisme,” imbuh dia.
Baca juga: Plastik Bikin Boncos, Kerugiannya Tembus 1,5 Triliun Dolar AS
Kendati demikian, dia berpendapat bahwa absennya konsensus bukan berarti tak ada jalan keluar. Mayoritas negara yang ambisius harus berani melakukan pemungutan suara atau membentuk koalisi.
"Dengan meninggalkan pihak-pihak yang terus menghalangi tanpa iktikad baik dan memanfaatkan kekuatan kolektif yang mereka miliki, negara-negara ini bisa mendorong lahirnya perjanjian yang benar-benar melindungi manusia," papar Sadan.
Kesepakatan global mengenai plastik kerap gagal lantaran tidak tercapainya konsensus. Pada perundingan di Busan, misalnya, yang digelar pada Desember 2024. Sadan menjelaskan, perundingan INC telah melewati tenggat waktu, sementara setiap harinya sekitar 30.000 ton plastik mengalir ke lautan.
"Gagal merumuskan perjanjian yang kuat di INC-5.2 hanya akan memperburuk krisis ini menjadikannya lebih sulit, mahal, dan berbahaya bagi masyarakat dunia," tutur dia.
Berdasarkan laporan WWF dan Universitas Birmingham berjudul Plastics, Health and One Planet ada hampir 200 studi ilmiah terkait risiko plastik terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Baca juga: 568 Sarang Diteliti dan Terkuaklah, Banyak Anak Burung Mati Tercekik Plastik
Laporan tersebut menyoroti bagaimana mikro dan nanoplastik maupun bahan kimia aditif dalam plastik dapat memicu disrupsi endokrin, kanker terkait hormon, penurunan kesuburan, hingga penyakit pernapasan kronis.
Karenanya, Profesor Ecohydrology and Biogeochemistry Universitas Birmingham, Stefan Krause, menekankan agar negara anggota melahirkan perjanjian berbasis sains dan mengikat secara hukum.
"Yang tidak hanya melarang produk dan bahan kimia plastik paling berbahaya, tetapi juga menjadikan perlindungan terhadap manusia, satwa, dan lingkungan sebagai mandat utama," ucap Krause.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Internasional dan Diplomasi Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, Erik Teguh Primiantoro, memastikan pengelolaan sampah plastik agenda strategis nasional. Pihaknya menargetkan 100 persen sampah plastik terkelola pada 2029.
Setidaknya, Indonesia menghasilkan 7,8 juta ton sampah plastik per tahunnya dengan sebagian besar belum terkelola dengan baik.
"Untuk mencapainya, pendekatan yang Indonesia dorong tidak lagi parsial, tetapi dari hulu ke hilir. Ini termasuk memastikan hanya residu yang akhirnya masuk ke TPA, serta mendorong pemanfaatan citra satelit untuk memantau dan merespons pencemaran plastik secara real-time," jelas Erik.
Baca juga: RI Butuh Rp 300 Triliun untuk Bangun Fasilitas Pengelolaan Sampah
Dalam proses negosiasi Global Plastic Treaty, Indonesia berkomitmen mendorong kesepakatan yang berpihak pada keadilan lingkungan.
Melalui perjanjian ini, pemerintah berharap akan ada mekanisme global yang mengikat dan adil, yang mendorong transformasi sistem produksi plastik menjadi lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya