Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Metana merupakan gas rumah kaca dengan potensi pemanasan hingga 82 kali lebih besar dari karbon dioksida. Tak hanya mempercepat laju perubahan iklim, emisi metana juga dapat menyebabkan gangguan pernapasan hingga penurunan produktivitas pertanian.
Baca juga: Titik Kritis Batu Bara: Mengurai Simpul Energi dan Fiskal
Ironisnya, lonjakan emisi metana dari ekspansi tambang batu bara ini masih belum diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Hingga kini, belum ada kewajiban pelaporan ataupun pengukuran secara langsung.
Kajian EMBER dan IEA bahkan menunjukkan bahwa emisi CMM Indonesia dapat mencapai delapan hingga 16 kali lebih tinggi dari yang dilaporkan pemerintah.
Tanpa perbaikan mendasar, dampak signifikan dari industri batu bara ini akan terus terabaikan dan komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim pun akan semakin dipertanyakan.
Beberapa perusahaan tambang batu bara besar mulai menyadari bahwa sektor batu bara telah mulai memasuki masa sunset.
Laporan EMBER dan Energy Shift Institute menunjukkan bahwa beberapa perusahaan, seperti Indika Energy dan Bukit Asam, telah berkomitmen dan mulai diversifikasi ke bisnis rendah emisi, termasuk energi terbarukan.
Potensi bisnis energi terbarukan di Indonesia masih sangat besar. Pemerintah merencanakan pembangunan 42,6 GW pembangkit energi baru terbarukan hingga 2034.
Industri manufaktur komponen energi terbarukan juga menjadi peluang investasi menarik untuk mendukung proyek-proyek tersebut.
Sayangnya, pengembangan bisnis energi terbarukan tidak selalu berjalan mulus. Beberapa proyek energi terbarukan yang melibatkan konglomerat energi Indonesia masih mengalami banyak kendala, mulai dari tantangan pembiayaan hingga akuisisi lahan.
Sementara itu, mayoritas proyek energi terbarukan skala besar banyak dikembangkan oleh anak perusahaan PLN yang bekerjasama dengan perusahaan asing melalui skema strategic partnership.
Meski kehadiran investor asing penting untuk transfer teknologi, keterlibatan perusahaan-perusahaan nasional juga harus diperkuat supaya Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tapi juga pemain utama.
Baca juga: Aturan Baru Bahlil: Harga Patokan Batu Bara Dicabut, Perusahaan Tambang Lebih Fleksibel
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyampaikan bahwa pembangunan pembangkit energi baru terbarukan hingga 2034 membutuhkan investasi swasta sebesar Rp 1.341,8 triliun dan harus melibatkan perusahaan-perusahaan nasional.
Hal ini seharusnya menjadi indikasi kuat bagi pelaku industri tambang batu bara untuk segera mengambil bagian dalam sektor energi terbarukan sebagai bagian dari strategi transformasi usaha.
Pemerintah harus menyusun strategi yang holistik dalam menyikapi tren penurunan batu bara ini. Mulai dari penyesuaian produksi batu bara nasional mengikuti permintaan pasar hingga penerapan kriteria yang lebih ketat untuk perizinan perusahaan tambang.
Di saat yang sama, pemerintah juga harus membuat iklim investasi yang kondusif bagi pengembangan energi terbarukan guna memberikan ruang dan peluang transisi bisnis dari sektor ekstraktif.
Hal ini meliputi perencanaan yang konsisten, jaminan kepastian bisnis serta dukungan regulasi yang kuat.
Industri batu bara perlu lebih objektif dalam menilai dinamika pasar. Di tengah tren permintaan ekspor yang turun, strategi ekspansi produksi justru berisiko menjadi bumerang bagi kelangsungan usaha.
Ke depan, pemerintah juga akan lebih selektif dalam menerbitkan izin baru maupun perpanjangan.
Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan batu bara perlu mulai mengalihkan porsi investasinya ke sektor berkelanjutan yang memiliki prospek jangka panjang, seperti energi terbarukan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya